Ketigapuluhdua

7.9K 641 30
                                    

Siang ini aku dikejutkan dengan kedatangan Prisa ke kantorku. Entah untuk bertujuan apa namun, sekarang aku dan dia sudah berada di sebuah kafe yang berada di sebrang kantorku. Sejak tigapuluh menit yang lalu, tak ada percakapan di antara kami kecuali rintikan hujan yang bertabrakan dengan aspal jalan yang membuat kebisingan di antara kami.

"Syani?"

Pandanganku yang tadinya memandang ke arah lain kini terfokus pada Prisa yang baru saja memanggilku. Dalam hati, aku bertanya tapi tak mampu aku utarakan karena aku berusaha mencoba menebak air muka Prisa sekarang yang berubah.

"Aku sudah tahu kamu istri Biru, sejak lama." Prisa melanjutkan ucapannya yang membuatku terkejut.

Jika memang ia sudah tahu sejak lama kalau aku ini istri Biru, lantas untuk apa Prisa mengaku dekat dengan Biru?

"Aku bahkan sudah tahu hubunganmu dengan Biru sejak lama." katanya lagi yang membuat kepalaku dipenuhi banyak tanda tanya.

"Maksudnya?"

Prisa mengambil minumannya, lalu meneguknya pelan.

"Ada satu hal yang perlu kamu tahu, Sya."

Aku semakin kalut dilanda tanda tanya yang banyak sekali di kepalaku.

"Prisa, aku benar-benar ngga paham maksud kamu. Tolong jelaskan." pintaku yang sedikit memohon padanya.

"Biru.... Dia telah menabrak ayahmu."

Mataku membulat sempurna, kaget. Jika ini perihal Biru yang menabrak ayahku, tentu saja aku sudah mengetahuinya tapi mengapa Prisa juga mengetahuinya? Apa semua orang sudah tahu dan akulah orang terakhir yang mengetahui perihal ini?

Tuhan... Sakit sekali dadaku, seperti dihujamkan pedang.

"Saya cinta sama Biru, Sya. Saya menganggap Biru lebih dari seorang teman kerja."

Kenyataan apalagi ini yang harus Syani dengar? Prisa benar-benar mencintai Biru?

"Selama ini, saya berusaha untuk dapat mengambil hati Biru. Saya mengancamnya akan memberitahu kamu tentang rahasia yang selama ini Biru pendam jika ia menolak saya. Meskipun saya tahu Biru cinta sama kamu, tapi saya terus mencobanya sampai hari ini... Hari ini saya lihat Biru kacau sekali, saya tak pernah mau melihat Biru seperti ini dan ketika saya tahu jika penyebabnya adalah kamu--." Prisa menarik napasnya, "Maka dari itu, saya berada disini sekarang, di hadapan kamu untuk meminta kamu melepaskan Biru."

DEG!!

Aku tak tahu perasaan apa yang berada di dalam hatiku saat ini, seperti ada sesuatu yang meledak di dalam hatiku.

Aku menatap Prisa, menatap wanita yang baru saja memintaku untuk melepaskan Biru.. Ah, ini gila, terlampau gila.

"Saya mencintai Biru, saya cinta dengan suami saya."

Prisa menggerakan bola matanya, "Kamu masih mencintainya setelah tahu ia yang menabrak ayahmu?"

Aku menghela napasku, "Mbak, saya tidak tahu mbak tahu tentang itu darimana. Tapi, jika mbak menjadikan alasan itu untuk menyuruh saya melepaskan Biru sepertinya mbak salah, karena saya sudah mengetahuinya."

Aku melihat Prisa menarik napasnya lagi, entah apa yang ia rasakan dan pikirkan.

Tapi, saat ini aku menjadi tahu jika selama ini kedekatan Biru dengan Prisa hanya karena Biru takut jika rahasianya dibongkar Prisa. Laki-laki itu memang pengecut dan sialnya aku masih mencintainya dan ia telah menjadi suamiku.

Prisa meneguk minumannya. Ia berdiri dari kursinya dan tanpa pamit, melangkahkan kakinya menjauh dariku serta meninggalkanku sendiri dengan segenap tanya yang berada di dalam kepalaku saat ini.

Aku menghela napasku, menetralkan emosiku sambil mengambil ponselku dan mencari kolom obrolanku dengan Biru. Beberapa kali, laki-laki itu mengirimkan pesan padaku dan juga menelponku tapi aku sama sekali tak menggubrisknya. Aku masih mencerna dengan semua kenyataan yang menamparku berkali-kali dan masih tak paham dengan segala yang terjadi di dalam hidupku.

Prisa menemuiku.

Aku mengirimkan pesan itu padanya dan langsung menaruh ponselku kembali ke meja. Mataku mengedar, entah untuk mencari apa sampai mataku menatap sosok yang aku kenal.

Ya, Mas Tarra.

Mas Tarra yang baru saja membuka pintu kafe ini dan pandangan kami saling bertemu di satu titik.

Aku tersenyum, menyapanya. Sedangkan ia, yang kulihat masih terkejut namun juga membalas senyumku.

Teng!!

Ponselku berbunyi membuat tatapanku berpindah dan melihat satu notifikasi pesan yang tertera di sana.

Biru

Kamu dimana??!

Aku tak membalasnya.

Kamu masih dengan Prisa?

Aku hanya membacanya.

Sya! Jawab aku.

Aku tak memedulikannya sampai akhirnya Biru meneleponku dan aku.... Aku masih tak memedulikannya.

"Sya?"

Aku dikejutkan dengan kedatangan Mas Tarra yang sudah berada di hadapanku. Ia tersenyum sambil membawa minuman yang telah dipesannya di tangan kanannya.

"Boleh aku duduk?" izinnya padaku dan aku hanya mengangguk.

"Terima kasih." ucapnya lagi dengan suara yang lebih pelan.

Aku menatapnya, "Sama-sama."

"Sya?" ia memanggilku lagi.

"Ya, Mas?"

"Apa kabar?"

"Baik."

"Biru?"

Bola mataku berputar saat Mas Tarra menyebutkan nama itu.

"Apa kabar Biru?" ia mengulangi pertanyaannya lagi.

"Oh... Hehe, Biru baik-baik saja." ucapku dengan senyum yang berada di bibirku.

Ya. Aku baik-baik saja. Birupun samanya.

Hanya saja.... Hubungan kami yang sedang tidak baik-baik saja.

"Ohiya. Mas dan Farah apa kabar? Aku dengar Farah sedang hamil yaa? Wahh pasti menyenangkan." ucapku antusias, karena memang berita yang aku dapatkan seperti itu.

Mas Tarra meminum minumannya, ia tak menjawab ucapanku. Ia hanya tersenyum tipis dan aku tak mengerti apa maksudnya.

"Sya, kamu tahu tidak?"

Aku menggeleng.

"Aku masih disini, Sya." ucap Mas Tarra yang membuatku bertanya-tanya.

Disini? Di mana?

Apa maksudnya?

"Aku masih disini, Sya. Dengan perasaan yang masih sama, untuk kamu." ucap Mas Tarra dengan nada bicara yang santai sementara aku sangat terkejut dengan pengakuan yang ia berikan saat ini.

Apa Mas Tarra benar-benar masih mencintaiku?

Entah, kenyataan apa lagi yang harus aku hadapi saat ini.

"Jangan takut, Sya. Aku hanya mengutarakannya saja." Mas Tarra menatapku dan berusaha menenangkan semua pikiran yang berkecamuk di dalam kepala dan hatiku. "Karena sekeras apapun aku berjuang untuk kembali ke kamu, sepertinya sudah tak mungkin. Karena aku dan kamu sudah memiliki jalannya masing-masing, 'kan?"

Aku mengangguk pelan, tak tahu harus menanggapi ucapannya.

"Syani!"

Biru....

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang