Kedua

19.2K 1.3K 3
                                    

"Kenapa Sya? Lagi ada kasus yang memberatkan lo?"

Aku menoleh ke kanan mendapati Nadin yang menatapku lurus. Nadina Ismail, wanita yang hampir setahun ini selalu berada di sampingku, menjadi teman kerja merangkak sebagai seorang sahabat. Dengannya, aku menemukanku di dalam dirinya. Persis. Dan aku sangat bersyukur akan hal itu karena hanya Nadin yang paham dengan inginku untuk terus menunggu Biru disaat yang lain berbeda.

"Ngga kok, eh ini ada bolu pisang dari Tante Melli bagi-bagi ya." kataku yang memberi kotak makan berisi bolu itu pada Nadin.

"Lo udah?"

"Sisanya aja, gampang kok." aku tersenyum sementara Nadin menampakkan wajah kesalnya lalu ia mengambil tisu lalu meletakan dua potong bolu disana.

"Lo tuh jangan gitu, udah tahu di sini orang kelaperan semua. Kalo lo disisain ya cuma kotak makannya aja yang balik. Dua potong cukup?" katanya dengan nada seperti ibu-ibu yang lagi marahin anaknya.

Aku sedikit tertawa dan membenarkan ucapannya Nadin. "Cukup kok. Makasih ya. Udah sana bagi-bagi."

"Iya-iya bawel banget sih." apa Nadin itu ngga tahu kalau dia lebih bawel dari aku? Hemm.

Garis Waktu

Sepulang kerja. Aku menemani Nadin menghadiri konser Payung Teduh, sebetulnya itu juga band yang kupuja-puja. Konser baru dimulai lima menit lagi, Nadin memutuskan untuk keluar sebentar untuk membeli minuman karena sudah dipastikan sepanjang konsernya berjalan kita tidak akan berhenti menyanyi.

"Nih." Nadin menyodorkan sebotol minuman teh kepadaku.

"Wah, udah mau mulai." tambahnya dengan antusias lalu duduk di sampingku mengingat jumlah penontonnya dibatasi hanya seratus orang jadilah kursi disiapkan. Dan kita-aku dan Nadin-salah dua dari seratus orang yang beruntung itu.

Mataku menyipit sementara ingatanku terbuka, hatiku mencari cela disela-sela lagu Resah yang sedang dibawakan Payung Teduh. Ah, rupanya tubuhku pun mengasingkanku. Mengapa semua yang ada di kepala, hati bahkan mataku hanya kamu Biru?

"Aku menunggu dengan sabar

Diatas sini melayang-layang

Tergoyang angin, menantikan tubuh itu."

Setelah bait terakhir itu dinyanyikan aku semakin mengeratkan peganganku pada botol minuman ditanganku. Payung Teduh memang kesukaanku tapi rasanya aku lebih butuh musik EDM atau dangdut biar bisa joget-joget dan tidak mengingat-ingat Biru lagi.

Ah.

Biru, Payung Teduh masih menjadi kesukaanmu juga kan?

Biru, kamu masih mau menyanyikan Payung Teduh untukku?

Seperti dulu,

Saat yang indah belum berpindah dari kita.

Mataku mengedar menatap Nadin yang sedang menikmati lagu kedua yang dibawakan oleh Payung Teduh. Berdua Saja dibawakan Payung Teduh dengan apik, nyaris membuat yang ada disini menjadi tersedu dan mengeratkan genggamannya pada pasangannya, ya setidaknya itu yang bisa kuperhatikan.

"Mungkinkah kita ada kesempatan

Ucapkan janji takkan berpisah selamanya."

Terakhir, aku aminkan bait lagu itu sambil merapal nama serta wajah Biru didalamnya.

Tangan jahilku bergerak mengetikan sebuah pesan diponselku, tentu saja untuk Biru.

"Biru~ aku lagi nonton Payung Teduh, Bi. Band favorit kita emang jago banget ya Bi, kebukti deh. Soalnya yang lain pada pegangan tangan sama pacarnya kalau aku malah pegang botol. Kamu ngga berminat buat gantiin botol itu Bi?"

Kacau~ aku berdesis pelan, pesan seperti ini mana bisa kukirimi pada Biru? Aku menghapusnya.

"Semangat ya, Biru!"

Akhirnya aku mengetikkan pesan bernada semangat itu lagi. Tapi, apa salahnya aku mencoba lebih agresif padanya? Aku mengapusnya lalu kembali mengetikkan pesan yang sebelumnya seraya berharap ia akan membalas walaupun hanya emot senyum atau apapun isinya. Aku sangat berharap akan hal itu.

"Woi~ Syani~" aku hampir melemparkan ponselku ketika mendengar suara itu, suara yang memanggilku begitu memekikan telinga dan sangat kuyakini merusak semua feel yang ada di konser ini.

"Inu? Bang Inu?" aku menatap wajah itu, seingatku dia itu Bang Inu seniorku waktu SMA, mantan ketua Osis dan ah iya

Satu lagi

Dia teman dekat Biru.

Bang Inu mengangguk ke arahku lalu menatap Nadin yang juga mengarah padanya.

"Mau jemput nih babi, Sya. Maklum kalau malam suka lupa jalan pulang, nyebur kelubang lumpur mulu." belum sempat aku bertanya tentang kehadirannya disini namun Bang Inu sudah menjelaskannya dan membuatku tertawa, sedikit melupakan lagu galau dari Payung Teduh dan Biru.

Tapi, akupun tidak tahu hubungan Bang Inu dengan Nadin namun setahuku beberapa bulan ini Nadin sedang dekat dengan seorang pria. Bang Inu kah orangnya?

"Ini yang gue ceritain Sya, ternyata kalian udah saling kenal. Emang bener deh dunia sempit, sesempitnya otak Inu." kata Nadin yang juga membuatku tertawa. Mereka berdua ternyata sebelas duabelas. Aku jadi bayangin betapa serunya hubungan mereka jika bersatu.

Nadin mengapit lengan Bang Inu lalu ia bangkit dari duduknya hendak berpulang dan berpamitan padaku.

"Biru jemput kan, Sya?"

Aku tertegun dengan pertanyaan Bang Inu. Ah aku mendesah pasrah mengingat Biru begitu menyesakkan. Nadin menyenggol perut Bang Inu dengan lengannya, mungkin memberi kode agar Bang Inu tidak melanjutkan perkataannya yang menjurus ke Biru.

"Sendiri Bang. Santai aja, oke?" aku mengacungkan jempolku serta senyum yang sebenarnya terlihat begitu memaksa.

Aku harus jawab apa Bi saat orang-orang bertanya tentang kita?

Kalau bukan selain berharap.

Aku harap kamu tidak mengecewakanku, Bi.

Ah.

Aku banyak berharap.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang