Keduapuluhdua

5.7K 498 8
                                    

Hari ini, aku memutuskan untuk memberikan Biru kejutan dengan membawakannya makan siang ke Rumah Sakit karena tadi setelah Biru berangkat kerja aku meluangkan waktuku untuk memasak masakan kesukaannya yaitu ayam opor dengan sambal goreng kentang. Tapi sebelum tiba di rumah sakit aku berhenti terlebih dahulu di toko buah-buahan karena tiba-tiba saja aku teringat Pak Herman dan Nek Ida yang beberapa waktu lalu aku temui di rumah sakit. Setelah semuanya selesai aku kembali meneruskan perjalanan menuju rumah sakit.

Aku mengambil ponselku lalu mengetikan pesan pada Biru.

Sudah makan siang?

Kemudian mataku kembali menatap jalan dengan tatapan mawas, tak lama dari itu Biru sudah membalas pesanku.

Belum. Kamu jangan lupa makan siang ya.

Aku tersenyum tapi aku tak membalas pesan Biru, aku memilih untuk menaruh kembali ponselku ke dalam tasku. Sambil menebak-nebak ekspresi apa yang akan ia tunjukkan saat melihatku di sana.

Setibanya aku di rumah sakit, jam masih menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit dan menurut jadwal, Biru akan makan siang pada pukul dua belas tepat atau sekitar jam dua belas lewat. Maka dari itu aku memutuskan untuk menjenguk Pak Herman terlebih dahulu, berkat informasi dari bagian informasi aku langsung menuju ke ruang rawat Pak Herman yang ruangannya tak jauh dari ruang kerja Biru.

"Assalamualaikum," aku mengetuk pintu itu terlebih dahulu sebelum dengan gerakan pelan aku membukanya. Mataku langsung menatap Nek Ida dan Pak Herman yang sedang menunjukkan ekspresi kebingungan tapi tak lama mereka langsung tersenyum dan Nek Ida juga langsung menghampiriku.

"Waalaikumsalam, Mbak Syani?"

Aku tersenyum, Nek Ida mempersilakan aku masuk, "saya cuma bawa ini, mohon diterima ya Nek, Pak." Aku memberikan bingkisan buah-buahan itu pada Nek Ida, Nek Ida mengambilnya dengan senyum di bibirnya kemudian ia mengucapkan terima kasih.

"Pak Herman, bagaimana keadaannya? Sudah lebih baik?" sapaku pada Pak Herman yang kini sedang berbaring di ranjangnya, senyumnya masih menghiasi wajahnya meski pun wajah yang aku lihat sekrang sangatlah berbeda dengan wajah yang aku lihat saat pertama kali bertemu dengannya.

"Ngga suaminya, ngga istrinya kalau nyapa saya pasti selalu seperti itu, persis sekali." Ucap Pak Herman, Nek Ida terkekeh pelan sementara aku dibuat tersipu malu.

"Saya sehabis kemoterapi mbak, makannya jadi lemas begini."

Aku mengangguki ucapan Pak Herman, "yang kuat dan semangat ya pak, bapak pasti sembuh."

Pak Herman tersenyum, kini aku melihat wajahnya berubah lebih berseri-seri dibanding tadi. Obat serta terapi itu memang penting untuk orang sakit tapi dorongan serta motivasi menurutku lebih dari segalanya.

"Omong-omong Mbak Syani mau ketemu dokter Biru ya?" Nek Ida bertanya padaku sambil matanya melihat ke arah rantang makanan yang masih aku genggam.

"Iya, mau nganter makan siang tapi dokter Birunya belum istirahat. Terus pengin juga jenguk Pak Herman." Kataku ramah sambil tersenyum.

"Oh yaudah, itu rantangnya taruh di sana aja mbak, biar ngga berat. Itu juga kalau masih mau lama-lama di sini." Nek Ida menunjuk meja yang berada di depan kaca yang letaknya tak jauh dari posisi Nek Ida berdiri sekarang.

"Iya, saya mau di sini dulu aja, mau ngobrol-ngobrol." Kataku yang perlahan berjalan ke arah Nek Ida, setelah meletakan rantangnya mataku menatap keluar jendela sebentar tapi sosok yang aku lihat di bawah sana membuatku menatapnya lama-lama.

Letak kamar Pak Herman memang di lantai dua dengan kaca yang lumayan besar dan juga memiliki pandangan yang langsung menuju ke taman rumah sakit ini. Sosok yang sedang aku tatap di bawah sana mungkin saja tak menyadari keberadaanku di sini tapi aku sangatlah menyadari dan melihat dengan jelas sosoknya sekarang, Biru yang sedang berbicara—entah pembicaraan santai atau pun serius aku tak bisa begitu memastikan tapi wanita yang kini berada di hadapannya menunjukkan senyumnya beberapa kali.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang