Keduapuluhsatu

6.3K 480 5
                                    

Kalau berbicara tentang pernikahanku dengan Biru, sejujurnya aku masih tidak begitu menyangka dengan kenyataanku ini. Tapi setelah seminggu bersama, rasanya setiap hari ucapan syukurku tak terhitung. Seminggu memang bukanlah waktu yang lama, tapi rasa senangku semoga saja bertahan lama. Ritme kehidupanku pun berubah yang tadinya apa-apa serba sendiri kini aku harus membaginya dengan Biru dan mendahului segala kebutuhannya ketimbang kebutuhanku sendiri, menjadi seorang istri bukanlah perihal bagaimana menyenangkan diri sendiri tapi bagaimana menjadi kebahagiaan untuk suami, setidaknya itu yang aku pelajari ada pernikahan ibu dan ayahku yang bertahan sampai maut memisahkan.

Pagi hariku, diisi dengan pelukan serta dengkuran halus Biru yang bagiku seperti sebuah musik yang mengiringi lagu. Siang hariku, diisi dengan sapaan serta ucapan semangat serta malam hariku ditutup dengan senyuman Biru. Dan, aku sangat menikmati semua itu. Selama ada Biru, nasi tambah garam pun rasanya seperti nasi tambah rendang sapi.

"Good Morning," Biru datang menghampiriku yang sedang duduk di balkon kamar sambil kedua tangannya memegang cangkir pualam putih yang berisikan kopi kemasan yang baru saja dibuat oleh Biru.

Aku tersenyum menatapnya saat Biru sudah duduk di sebelahku, Coffee Morning menjadi kebiasaan kami setelah menikah kemudian kami saling bercerita entah tentang apa pun, serta banyak hal yang baru aku ketahui setelah kami menikah. Misalnya tentang kehidupannya di Singapura, betapa sulitnya ia menyelesaikan pendidikannya serta banyak hal lainnya.

"Kamu siap?" Biru bertanya padaku sambil sesekali ia menyesap kopi di gelasnya. Aku menatapnya yang sudah berpakaian rapi, khasnya saat ia ingin berangkat kerja dan biasanya setelah ia berangkat kerja aku mulai memberesi rumah tapi tidak untuk sekarang karena cutiku sudah berakhir dan aku siap untuk kembali bekerja lagi.

"Aku tuh baru selesai cuti tapi kok rasanya kayak anak baru magang gini ya." Kataku jujur pada Biru, karena yang aku rasa memang seperti itu adanya.

"Mungkin karena kamu mau ketemu Tarra, kali."

"Eh," aku terkesima dengan jawaban yang Biru berikan, ya, setelah menikah aku juga baru tahu kalau Biru—laki-laki dingin ini juga memiliki pikiran yang cenderung selalu buruk tapi sepertinya itu hanya berlaku untukku.

Biru menatapku seperti sedang mendiagnosis penyakit pasien-pasiennya kemudian tak lama dari itu Biru tertawa pelan sedangkan aku merasa terheran-heran dengan kelakuannya saat ini.

"Kamu lucu."

Dua kata itu dikatakannya dengan lancar sampai membuat pipiku merah merona, dipuji itu biasa tapi kenapa dipuji suami itu rasanya ngga biasa. Pipiku bahkan selalu memerah jika Biru memujiku, memelukku bahkan menciumku. Meski pun bukan yang pertama tapi rasanya masih saja seperti pertama. Tuh kan, pipiku pasti tambah memerah dan hal yang tak aku suka karena ini adalah Biru jadi puas sekali meledekku dan menjadikan ini sebagai bahan leluconnya untukku.

"Yuk, berangkat sudah siang." Biru meminum sekali lagi kopinya kemudian ia mengambil gelas itu dan berdiri menghadapku. Aku mengikuti Biru kemudian kami berjalan ke dapur untuk meletakkan gelas itu sebelum pergi berangkat kerja, masing-masing. Ya, hal ini aku lakukan mengingat jadwal Biru yang tidak pasti, kadang dia bisa pulang sebelum aku pulang bahkan yang paling sering adalah dia pulang ketika aku sudah tertidur pulas di kasur.

"Syani~"

Gerakanku terhenti, aku menahan pintu mobilku yang sudah terbuka kemudian menatapnya yang kini sedang berjalan ke arahku.

"Morning kiss," katanya sambil mencium keningku dengan cepat bahkan tak sampai lima detik. Pipiku bereaksi seperti biasa dan hal ini membuat senyuman tertahan di bibir Biru sangat terlihat.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang