Hari ini aku menelepon Nadin, memberi kabar padanya bahwa aku izin kerja karena tidak enak badan. Tentu Nadin tidak membuatnya mudah, ia terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kemarin aku pergi begitu saja dari acara reuni namun aku enggan menjawabnya. Aku belum siap menceritakannya padanya.
Malam itu, setelah Mas Tarra menyatakan perasaannya tak ada perbincangan apa-apa lagi di mobil sampai ia menurunkanku dengan selamat di apartemenku. Selama ini aku memang mengetahui jika dia menyukaiku dan berusaha untuk mendekatiku, namun seperti yang aku katakan bahwa pada saat ini aku masih berharap banyak pada Biru.
Dan aku harap, Mas Tarra paham akan hal itu dan tidak mempersulitku dengan mengatakan perasaannya padaku. Bukan, aku tidak menyalahkan perasaannya karena yang patut disalahkan adalah aku, aku yang terlalu jahat padanya.
Aku hanya ingin mundur perlahan dari hidupnya Biru, karena aku selalu bergantung padanya. Aku akan berusaha tapi nanti setelah aku memang tak lagi sanggup kuasa untuk menghadapinya. Jadi, Mas Tarra aku berharap jika kamu mau memahaminya dan memaafkan aku.
Ponselku berbunyi tanda ada panggilan yang masuk.
Nadina Ismail
"Hallo, Nad, ada apa?"
"Lo dimana Sya?"
"Apartemen."
"Tadi Biru ke sini nanyain lo, terus dia ngobrol sama Mas Tarra, lama banget."
"Ngobrol apa?"
"Gue ngga tahu Sya."
"Terus lo bilang apa?"
"Gue bilang lo ngga enak badan, terus dia langsung pamit. Lo mau nikah ya?"
Aku sudah menebak jika sifat berlebihan yang Biru miliki itu sudah membuat heboh satu kantorku dengan mengatakan jika dia adalah calon suamiku.
"Nad~"
"Iya, nanti aja ceritanya kalau lo siap. Udah ya, istirahat lo jangan kabur kemana-mana, makan yang benar."
"Iya, makasih ya infonya."
"Jangan kabur, Sya."
"Iyaa, ngga akan."
"Yaudah, gue tutup ya."
Nadin memutuskan sambungan telepon, dugaanku setelah ini pasti Biru akan mendatangi apartemenku, mungkin seperti itu tapi aku berharap tidak, karena aku belum siap.
Aku kembali menutup selimutku dan mencoba untuk tertidur.
Setelah beberapa menit aku tertidur, ponselku kembali berbunyi, panggilan kembali masuk namun bukan lagi dari Nadin. Tapi, dari Gita, tetanggaku.
"Hallo Git."
"Hallo, Sya."
Aku berdiam, mematung. Itu bukan suara Gita, suara itu lelaki dan sangat kuhapal betul memiliknya.
"Jangan dimatiin, aku mohon."
"Kenapa?"
"Aku di depan apartemen kamu, ada banyak hal yang perlu kita bicarain Sya."
"Tapi, menurut aku udah ngga ada lagi."
"Banyak Sya. Banyak. Kamu ngga penasaran kenapa aku telepon kamu pake ponsel tetangga kamu? Sya, nomor kamu masih aku hapal betul dan tersimpan di ponselku namun tiga tahun belakangan ini aku selalu ngga bisa hubungi kamu."
"Apa maksud kamu?"
"Kita bicarain ya, aku tunggu kamu di depan pintu."
Biru langsung mematikan sambungan teleponnya, sedangkan aku masih berada di atas tempat tidur dengan rasa bingung yang melandaku. Jujur saja, aku pun penasaran dengan apa yang ingin Biru bicarakan, karena seperti yang aku tahu Biru memang sangat hapal nomorku dan begitupun aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Waktu
Chick-LitPada garis waktu, aku percaya bahwa datang dan pergi adalah hal yang biasa.