Kesepuluh

11.5K 948 14
                                    

Putriku,
Syaninda Nitisamasta.

Ayah ngga tahu sampai kapan ayah akan hidup, namun sepertinya kereta itu sebentar lagi menjemput ayah, nak.

Jangan bersedih, karena memang seharusnya seperti itu sebab setiap orang akan pergi untuk itu persiapkanlah dirimu nak, bukan, bukan untuk mempersiapkan kesedihan tapi ketegaran sebab kau sudah besar, sudah bisa memilih untuk apa hidupmu di jalankan.

Jika kelak saat itu tiba. Ayah pergi dengan bahagia karena telah menitipkanmu dengan seseorang yang kau cinta dan mencintaimu, Biru. Menikahlah dengannya nak karena selain ayah hanya dia yang mampu ayah percaya untuk menjagamu dengan baik.

Sudah ya Syani, ayah ingatkan sekali lagi.

Jangan bersedih.

Ayah mencintaimu, ibu mu pun sama.

Doakan kami dipersatukan di dalam surganya yah.

Tante Melli mendekatkan dirinya kepadaku, tangannya mengusap punggungku pelan. Sementara aku masih bersusah payah mengusap air mata yang datangnya seperti hujan, deras sekali.

Ayahku meninggal beberapa tahun lalu karena tabrak lari, dia sempat membaik keadaannya, sudah bisa berbicara, fungsi organ di tubuhnya sudah membaik namun siapa sangka justru kematiannya datang lebih cepat. Sebelum ayah, ibuku sudah terlebih dulu meninggal karena penyakit ginjal yang diidapnya.

"Beliau hanya ingin kamu bahagia, kamu mau mewujudkannya?" tanya tante Melli padaku.

Menikah dengan Biru.

"Tapi, aku dan Bi-"

"Kalian hanya berselisih paham, malam itu saat kamu bilang bahwa hubunganmu telah berakhir dengan Biru itu hanya kesimpulan yang kamu ambil sendiri bukan? Biru telah menceritakannya sama Tante kalau kamu cemburu dengan telepon Biru dengan temannya sehingga kamu menyimpulkan itu sendiri kan?" Tante Melli memotong ucapanku, aku yang mendengar sontak merasa kaget dan langsung menatap ke arah Biru, pria itu, aku tidak paham apa yang sedang ia rencanakan.

Aku mengigit bibir bawahku perlahan.

"Bahkan, kemarin kamu menginap di apartemen Biru kan?"

"Tapi, itu ng-"

"Aku ingin menjagamu, Sya. Sesuai dengan permintaan ayahmu. Dia pasti sedang memperhatikanmu di atas sana, dan jika kamu menolak mungkin dia akan memarahimu. Lagipula, aku mencintaimu dan kamu juga, apa salahnya?"

Jelas salah bodoh! Kemarin kamu bilang kita hanya teman, oke mungkin kesimpulanku memang salah saat itu. Tapi, kemarin kamu bilang kamu punya pasangan di Singapura sekarang di depan ibumu kamu bilang ingin menikahiku.

Maksudmu apa Biru? Apa?

Jika kamu memang ingin menikahiku lantas mengapa setitik-titik luka kamu torehkan di hatiku?

Aku yang payah, dungu, bodoh atau kamu yang terlalu picik Biru? Mempermainkan perasaan wanita yang sudah jelas-jelas mencintaimu tanpa ragu.

"Nanti Syani pikirkan lagi ya, kalau Ayah tahu kejadian yang sebenarnya pasti dia akan mengerti." kataku sambil bangkit dari dudukku, mengambil tas lalu berjalan pergi tanpa pamit dengan Tante Melli ataupun Biru.

Namun baru beberapa langkah, Biru menghentikanku dengan memegang lenganku.

"Aku antar."

"Ngga usah."

"Aku calon suamimu, aku hanya ingin memastikan kalau istriku pulang dengan selamat."

Dia lalu menarik tanganku, memanduku berjalan menuju mobilnya. Dan aku si payah serta dungu ini hanya mampu mengikutinya.

Garis Waktu

Perjalanan yang terasa kosong, karena aku dan Biru sama sekali tak berbicara apapun.

Malam sudah meninggi ketika Biru menghentikan mobilnya di pinggir jalan, aku tahu ini adalah jalanan menuju taman kota yang memang tak jauh dari apartemenku. Aku berdiam diri, menatap keluar. Meski malam sudah meninggi namun taman itu masih ramai mengingat ini malam sabtu serta lagi ada event bazzar di sana.

"Mau keluar? Kayaknya kamu butuh segelas kopi." Biru menginterupsi yang memaksaku untuk menatapnya.

"Aku mau pulang." kataku pelan padanya. Biru membuka seat-belt miliknya. Memandangku lalu tersenyum.

"Aku ngga bisa mulangin kamu dengan keadaan yang kaya gini, setidaknya sampai moodmu membaik. Ayo, segelas kopi saja." pintanya, aku menganggukan kepala. Terserahlah rasanya sekuat apapun aku menutup diri pasti akan kalah, dan terus begitu.

Karena ini bukan pertama kalinya aku memberontak, ini sudah kesekian kalinya dan hatiku masih memihak padanya. Egois.

Kami berjalan menyusuri taman kota dengan perlahan, sejujurnya baik aku ataupun Biru tidak terlalu suka dengan keadaan ramai seperti ini.

Kini, kami telah sampai di gerobak si penjual kopi. Biru memesan kopi sementara aku mencari tempat duduk yang memang telah disediakan di sana.

Tak lama dari itu, Biru datang membawa dua gelas plastik yang berisi kopi hitam kesukaan kami berdua.

"Dengan tambahan gula." katanya sambil memberiku gelas plastik itu, aku sedikit tersenyum sementara di dalam hatiku terasa hangat sebab sampai detik ini Biru masih mengenalku dengan baik yang itu berarti dia tidak pernah benar-benar melupakanku.

Aku tersenyum.

"Sebentar," Biru melepaskan jaket bombernya lalu menaruhnya di pundakku. "Calon istriku ngga boleh sakit." katanya.

Parfum beraroma maskulin ini sunggu sangat aku rindukan, aku memakainya dengan benar lalu membenarkan kunciran rambutku. Biru menatapku.

"Kenapa?" tanyaku padanya.

"Jangan lama-lama ya mikirnya."

"Ha?"

"Besok reunian sekalian aku mau ngasih tahu tentang pernikahan kita. Jadi jangan lama-lama berpikir untuk berkata iya." dia tersenyum simpul, sementara aku, ah, aku pun tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bingung.

Biru mendekatkan dirinya padaku. "Sebentar," katanya.

"Apa lagi?"

Dia tak menggubrisku, Biru justru semakin mendekatkan dirinya padaku. Wajahnya dengan wajahku sudah sangat dekat, aku bisa merasakan helaan napasnya di kulit wajahku.

"Rambut kamu ngalangin." katanya sambil menyelipkan sisa rambutku yang tak terikat di belakang telinga.

Aku tersenyum kikuk, ku pikir ahhhh...

Lalu dia tersenyum melihat salah tingkahku.

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang