"Aku bilang maaf, Sya."
Hatiku memanas mendengar perkataannya yang sepertinya sangat begitu mudah untuk keluar dari mulutnya. Semudah ia memblokir nomor Biru di ponselku dan setelah itu berlaga seolah-olah dia tidak pernah melakukan apapun.
"Syani, aku cinta sama kamu." Katanya sambil berusaha menggenggam tanganku tapi aku dengan sekuat tenaga menepis tangan Mas Tarra.
"Sya~"
Mas Tarra berkali-kali memanggilku, tapi aku masih bergeming. Aku mengulum bibirku ke dalam, andai Mas Tarra tahu aku sama sekali tidak ingin memperkeruh masalah di antara kita yang dimulai dari daftar hitam yang dia buat di ponselku, menjauhiku lalu aku rasa sangat sulit untuk memaafkan ciuman yang telah dia lakukan padaku.
Aku mengangkat tanganku dengan gemetar, mengarahkannya ke pipi Mas Tarra lalu menamparnya dengan sekuat tenaga.
"Tamparanku tidak setara dengan maafku mas, kamu menyakitiku, aku harap kamu tahu itu."
Aku beranjak meninggalkannya yang sedang termenung. Setelah ini, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan karena bersikap seperti biasa saja setelah apa yang dia lakukan padaku sangatlah sulit untuk aku lakukan.
Garis Waktu
Aku kembali ke tempat kerjaku dengan sisa-sisa tangis yang sepertinya masih membekas di mataku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini tapi tanpa sadar aku sudah mengambil tas milikku dan pergi begitu saja tanpa memedulikan pekerjaan yang masih harus aku selesaikan.
"Lo kenapa?" Nadin yang melihatku bertingkah seperti tidak biasanya langsung melemparkan pertanyaan padaku.
Aku menatapnya, lalu tersenyum.
"Gue ngga enak badan."
Aku tahu Nadin tidak mempercayai itu tapi sekuat mungkin aku berusaha untuk meyakinkannya jika memang aku tidak enak badan. Jika mata merahku sekarang memang murni karena sakit bukan karena tangisan.
"Gue tahu lo, Sya. Gue siap kapanpun lo mau cerita." Kata Nadin sambil menepuk bahuku pelan. Meski sekuat apapun aku berbohong, di depan Nadin aku tak bisa apa-apa. Dia tahu aku begitu dalam.
Aku menganggukkan kepala, tersenyum padanya sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkannya di tempat.
Aku berjalan cepat tanpa memedulikan pandangan orang lain yang menatapku dengan bingung. Beberapakali aku memegang bibirku, mengusapnya kasar seperti menghapus bayang-bayang Mas Tarra kemudian ingatanku seperti hanya berputar-putar pada kejadian yang baru saja terjadi dan itu sangat membuat hatiku sakit.
"Aaaws~" aku berhenti melangkah saat kepalaku bertabrakkan dengan dada seorang laki-laki di hadapanku. Aku mendengak untuk melihat wajahnya yang lebih tinggi dariku.
Biru, laki-laki yang aku tabrak adalah Biru.
Untuk apa dia ke sini?
Biru tersenyum padaku lalu tangannya mengelus dahiku lembut.
"Ada yang sakit?" tanyanya penuh khawatir.
Aku menggeleng.
"Kamu ngapain ke sini?"
"Lho memangnya ada larangan kalau aku ngga boleh ke sini?" tanyanya lagi, dan aku hanya menggeleng. Tapi kalau aku boleh jujur, semenjak acara lamaran itu berlangsung sikap Biru padaku sepertinya berubah banyak. Biru yang lebih perhatian, Biru yang lebih bawel tapi tidak peduli dengan perubahannya, Biru cuek saja aku masih sayang dan mau menantinya selama tiga tahun.
"Kamu aneh tahu ngga sih?" aku terkekeh melihat ekspresi bingung dari wajahnya.
"Kenapa? Kemeja aku ngga matching ya sama celananya? Apa sepatunya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Waktu
ChickLitPada garis waktu, aku percaya bahwa datang dan pergi adalah hal yang biasa.