ketigapuluh

7.9K 611 9
                                    

Tadi sore, Biru menghampiriku ke kantor. Untunglah aku belum sempat bertemu dengannya bahkan aku menyuruh Rudi untuk mengatakan pada Biru bahwa aku sudah pulang lebih dulu hingga tak butuh lama Biru sudah pergi dari kantor. Panggilan, pesan-pesannya pun tak ada yang satu pun aku tanggapi. Karena sampai saat ini rasanya masih sulit saja untuk berdamai dengan keadaan. Dan, menghindar mungkin pilihan yang terbaik, selain aku bisa tenang, permasalahan juga tak semakin menguasai diriku.

Sepulang kerja, aku tak memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Bertemu Biru, adalah hal yang sedang aku hindari saat ini. Maka, dari itu. Saat ini aku sudah berada di peristirahatan terakhir ayah dan ibuku, berbagi cerita padanya tentang keluh kesah hidupku.

"Yah, mengapa ayah pergi secepat itu?" aku mulai bermonolog. Bunga layu yang ada di atas pusara ayah telah kuganti dengan yang baru. Makam ibu di sebelahnya pun sama.

"Ibu, bilangin ayah Syani senang dan lega sudah menjalankan wasiat terakhir ayah. Ayah senang 'kan bu di atas sana? Tapi apakah ayah masih senang saat tahu, menantu kesayangannya adalah orang yang menabraknya? Ayah pasti sedih ya, bu? Ayah pasti ngerasa bersalah." Aku mengusap-usap nisan ibu. Bendungan di mataku sudah tak bisa lagi aku tahan. Aku menangis dan inilah sesuatu hal yang jarang aku perlihatkan pada ayah dan ibu semasa hidupnya.

Tapi, untuk sekarang aku tak bisa lagi berpura-pura. Aku tak ingin menyiksa diriku lebih-lebih lagi.

"Ayah, maafkan Biru ayah. Maafkan dia dan ayah jangan sedih dan merasa bersalah ayah. Bagaimanapun pernikahanku dengan Biru bukanlah satu hal yang salah. Aku senang, ayah." Aku beralih mengusap nisan ayah, tangan kiriku aku gunakan untuk menghapus air mata dan menunjukkan senyum terbaik yang aku punya.

Namun, aku tahu itu sama sekali tak membantu. Jauh di sana, di atas sana. Ayah pasti bisa melihatnya semua dengan mata telanjang, melihat tangisku yang lebih sering dari pada ketawaanku. Melihat senyum palsu dan tatapan tegar yang selama ini aku tunjukkan.

Ayah pasti tahu itu, dan aku sangat-sangat merasa bersalah.

Maafkan Syani, ayah.

Maafkan Biru juga.

Tangisanku yang sudah mereda kini kembali menjadi kencang. Air mataku jatuh bahkan tak bisa aku kira-kira, begitu deras. Sesak yang coba aku keluarkan rasanya tak berhasil hilang dari dalam dadaku. Sakitnya masih sama saja dan aku tak paham mengapa seperti ini.

"Syani ngga marah, ngga benci kok yah. Syani hanya kecewa, wajar bukan? Ayah dan ibu tidak usah khawatir, selama Syani masih bernapas, Syani akan baik-baik saja." Ucapku dengan tangis yang masih melekat di mataku.

"Menikah itu hanya sekali. Apapun keadaannya, susah atau senang, surga atau neraka selama dengannya kau merasa cinta. Bertahanlah. Pernikahan bukan diukur dari siapa yang paling bahagia tapi siapa yang setia."

Perkataan ayah beberapa tahun lalu itu kembali merasuk ke dalam benakku.

"Berpisahlah karena satu dari kalian sudah meninggal bukan karena sebab yang lain."

Lagi, ucapan ayah itu membuat tangisku kembali kencang. Perdebatan diri, bertahan atau pergi begitu mencebik dadaku.

Aku menghela napas. Menatap nisan ayah, "Biru cinta Syani, Syani cinta Biru dan selama itu Syani akan bertahan di samping Biru yah, Syani akan berusaha, Syani akan berusaha membuat pernikahan ini hanya sekali seumur hidup Syani." Tangisanku semakin kencang. Tubuhku bergetar hebat. Tanganku menutup mulut agar isakannya tak terdengar orang lain. Aku menekuk lututku lalu menenggelamkan wajahku diantara pahaku, menangis terisak.

"Maafkan Syani, Maafkan Biru." Aku mengulang-ulang kata itu, dalam hati sambil membenamkan wajahku lebih dalam lagi.

Garis Waktu

Aku tak sadar sudah berada di makan ayah dan ibu hampir dua jam lamanya. Dari senja sampai langit sudah gelap dengan bulan sabit yang kali ini terlihat lebih terang dari biasanya. Aku merubah posisiku yang masih menekuk lututku dan memilih untuk berdiri.

"Ayah, ibu. Syani pulang dulu ya, Biru pasti belum makan malam." Pamitku pada ayah dan ibu, tanpa persetujuan dari mereka aku sudah melangkah menjauh dari area pemakan ini yang sudah sepi bahkan dari sejak tadi sore.

Lagu-lagu di dalam mobilku sudah berganti-ganti sejak tadi. Dari genre pop, jazz, country sampai entah karena saking banyaknya. Aku tak begitu ingat karena hati dan pikiranku sepakat untuk kembali mengingat-ingat ucapan ayah tentang pernikahan.

Maafkan Syani,

Maafkan Biru.

Hanya kata-kata itu yang sedari tadi aku putar di dalam benakku.

Ponselku menyala. Tepat saat lampu merah, aku memilih untuk melihat sebuah panggilan yang masih menyala itu.

Putra Biru

Tanpa pikir panjang aku kembali meletakan ponselku di bangku sebelah. Hitunganku sudah sampai di angka lima puluh, tapi hari ini tak ada satu pun panggilan Biru yang aku jawab.

Aku ingin, aku ingin. Aku tak tahu aku ingin apa.

Karena, setelah bersama Biru. Aku tak ingin apa-apa lagi.

Garis Waktu

Aku tiba di rumah pukul sembilan malam. Setelah memarkirkan mobilku, mataku sama sekali tak melihat mobil Biru yang seharusnya sudah terlebih dahulu tiba di rumah tapi jika Biru memang belum pulang maka aku bisa bernapas lega karena aku bisa langsung masuk ke dalam kamar, kembali mengurung diriku. Tapi yang tidak aku mengerti adalah keadaan rumah yang gelap gulita entah karena Bi Imah lupa menyalakan lampu sebelum ia pulang atau karena sebab apa.

Aku masuk ke dalam rumah dengan hati-hati, menyalakan lampu satu per satu sampai rumah tak lagi gelap. Suasana terang membuat penglihatanku tajam hingga aku bisa melihat Biru yang sedang tertidur di sofa ruang tengah. Aku dituntut untuk tetap sadar saat aku melihat wajahnya begitu lelah bahkan jas dokter yang ia banggakan itu sudah tergeletak tak beraturan, tangan luka yang perbannya baru diganti begitu membuatku ingin mendekapnya dengan erat.

Aku berjalan perlahan melewati Biru, aku tak ingin membangunkannya.

"Syani~"

Garis WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang