Perasaan

1K 51 0
                                    

   Abian berjalan menuruni anak tangga setelah hatinya puas menikmati angin Rooftop dan sebatang rokok yang menjadi teman setianya.

  Rokok. Adalah temanya sejak SMP kelas 3. Rokok tidak pernah mengkhianati perasaanya, melukai perasaanya. Dan Rokok selalu ada untuknya, menemaninya dalam keputusasaan.

  Gubrak...

  Abian meringis kesakitan saat serpihan pecahan kaca datar menusuk kulitnya sampai terlihat robekan menganga lebar.

  "Kak Bian!" Lea berusaha berdiri saat dia melihat Abian terjatuh menabraknya yang tengah membawa puluhan kaca datar untuk praktek.

  "Ashh..." Abian menutupi lukanya dengan telapak tangan kirinya yang tidak lagi di balut perban. Sepertinya, Abian sudah sembuh.

  "Maaf kak, gua gak liat jalan" Lea jongkok di depan Abian sambil memperhatikan luka di lenganya yang menganga lebar.

  Abian melihat kaca-kaca yang sudah pecah bertaburan di lantai dua. Mereka sekarang ada di depan ruang Laboratorium yang cukup sepi.

  "Lo bawa semua itu sendirian?" Abian menunjuk serpihan kaca di lantai. "Iya, mending sekarang kakak ke UKS" Lea melepaskan dasi di kerah seragamnya.

  "Lo ngapain sih?" Abian menaikan alisnya saat Lea mengikatkan dasi abu-abunya di lenganya yang mengalirkan banyak darah tanpa henti.

  "Seengaknya darah kakak bisa berhenti, kalau kehabisan darah gimana? kan bahaya" Lea masih mengikat kuat dasinya. "Gua bakal mati?"Abian menatap mata Lea.

  "Kok kakak ngomongnya gitu?" Lea menatap Abian heran. "Ck!semua orang bakal mati kali" Abian bangkit berdiri diikuti Lea. "Tapi jangan mendahului Allah kak" Lea menasehati. Abian hanya diam mendengarkan.

  "Kak-"

   "Gua bukan kakak lo" Abian memunguti serpihan kaca di lantai. "Jangan, biar gua aja"Lea  menjauhkan tangan Abian dari serpihan kaca.

  "Gua yang nabrak lo" Abian masih berjongkok memungut lagi serpihan kaca di lantai. Lea tertawa mendengarkanya.

  "Kenapa ketawa?" Abian menatap Lea tajam sekali. "Ini pertama kalinya lo mengakui kesalahan lo sendiri. Selama ini lo selalu nyalahin kesalahan oranglain atas kesalahan lo sendiri, Syukurlah..." Lea tersenyum lepas.

  Abian menatap bola mata Lea yang terlihat sangat ceria dan ada tanda kehidupan di dalamnya. Lea berhati-hati sekali memunguti serpihan kaca di lantai.

  "Bian..." Lea terpaku diam saat melihat tetesan darah di lantai. Dimana saat ini Lea dan Abian memunguti serpihan kaca. "Hm?" Guman Abian tak menoleh kearahnya.

  "Lo harus bener-bener ke UKS" Lea menarik tangan Abian. Menuntunya perlahan menuju UKS sebelum hal buruk terjadi padanya.

  Bahkan darahnya bisa menembus ikatan kuat dari dasinya. Ini berarti lukanya parah sekali.

  "Gak usah alay" Abian melepaskan tanganya dari genggaman Lea saat mereka sampai di depan UKS. "Alay apanya sih kak? luka lo bener-bener parah lo bilang alay! kalau makin parah gimana?" Tegas Lea sangat khawatir.

  "Gua bakal mati?" Abia menaikan alis hitam tebalnya. Lea mengehela nafas kasar. "Lo bener-bener pengen mati? bahkan hidup lo masih panjang kak. Jangan ngomong begitu" Ceramah Lea lagi.

  "Jangan mendahulukan Allah. Lo sok tau kalau hidup gua bakal panjang" Abian tersenyum sinis.
"Gua gak sok tau, tapi itu harapan gua".

  Lea meraih lagi tangan Abian untuk masuk kedalam UKS yang dijaga dokter dari dinas kesehatan langsung.

Silent FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang