Ketika pagi menyapa, Jora Melkin, cowok berusia enam belas tahun itu tiba-tiba saja tersentak dan sadar. Matanya masih nanar untuk melihat yang terjadi. Begitu melihat sekitarnya, tidak ada yang begitu istimewa. Ruangan kamar itu terasa begitu sepi. Tirai jendela kaca tertutup dengan rapat, tidak membiarkan seberkas cahaya pun lolos masuk. Semua lampu padam, kecuali lampu yang terdapat di atas meja, di samping kasur.
Ia menggeliat, lalu turun dari kasur. Ia duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilekatkan di atas meja. Dilihatnya wajahnya di balik pantulan cermin. Ia masih saja terbingung karena adanya meja rias di kamarnya sementara ia adalah seorang lelaki. Meja dengan cermin ini memang sudah ada sejak pindah dengan orang tuanya sebulan yang lalu. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat bayangan di balik cermin. Ia tidak bisa melihat jelas bayangannya. Nampak kabur.
Astaga! Bagaimana bisa aku lupa?
Jora meraih kacamata yang tergeletak di atas meja. Ia memasangnya di wajahnya. Nah, kini ia bisa melihat bayangannya sendiri. Cerminan wajahnya terlihat jelas di depannya. Bentuk wajahnya oval. Wajahnya putih. Kulitnya halus tanpa ada noda sedikitpun. Wajahnya lumayan tampan. Tapi, ada yang salah dengan wajahnya. Entah mengapa, ia tidak ingin lama-lama melihat wajahnya sendiri. Sepertinya ada yang salah dengan wajahnya yang membuat dirinya begitu tidak sedap dipandang.
"Jora, Mama sudah meletakkan bekalmu di meja. Mama pergi dulu," suara singkat itu muncul dari balik pintu. Tanpa menunggu respon Jora, kemudian terdengar suara sepatu berdebam-debam yang kian lama kian kecil, berangsur menghilang.
Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat wajah yang terpantul di depannnya. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa ia menjadi benci pada dirinya sendiri setelah mendengar suara wanita itu.
Cowok itu bangkit, lalu membereskan seluruh kamarnya. Tidak butuh waktu yang lama, ia langsung membuat kamarnya menjadi rapi. Ia adalah tipikal orang yang tidak suka sesuatu yang kotor maupun berantakan. Entah mengapa sesuatu yang berantakan begitu risi baginya. Di hadapannya, semua harus nampak sempurna dan rapi.
Secara perlahan ia menuruni tangga. Pandangannya langsung tertuju pada sesuatu yang di meja. Bekal yang telah dibuat wanita itu. Kotak makanan sudah dibungkus dengan kain pendek polkadot. Tanpa memperdulikan bekal itu, Jora langsung melengos pergi.
Hawa dingin yang tidak wajar sudah tiba dan menyelimuti kota Medan. Angin bertiup agak kencang pagi ini. Jora mengibaskan syal rajutan yang bertuliskan "Berastagi" ke belakang sementara ia bergegas menyusuri trotoar mengarah ke halte bus. Ia sengaja memakai jaket di balik seragam putih abu-abu hari ini, namun tidak begitu membantu, ia sedikit menggigil karena rasa dingin mulai menembus jaketnya. Kali ini Medan yang dikenalnya berbeda dari yang diketahui, terasa seperti di Berastagi, kota dingin itu.
Begitu keluar dari bus, melintasi trotoar, dan menyeberangi jalan yang semuanya menghabiskan waktu perjalanan sekitar sepuluh menit, Jora tiba di sekolah. Ia menengadah ke arah plat besar yang menggantung di atas gerbang sekolah yang bertuliskan "SMA Hillbart".
Sudah genap setahun ia sekolah di sini. Banyak yang bilang sekolah ini terkenal di banyak kalangan. Sekolah ini merupakan sekolah paling tua di Medan. Dahulu bangunannya bergaya arsitektur Belanda, tapi sekarang sudah direnovasi menjadi lebih bangunan modern, seperti bangunan SMA pada umumnya, namun terlihat lebih istimewa dibandingkan SMA setara lainnya. Bangunannya sama seperti bangunan perkuliahan.
Fasilitasnya juga cukup lengkap dan memadai, mulai dari wi-fi bebas di dalam kelas, fasilitas laboratorium lengkap, dan gedung olahraga yang besar, lengkap dengan gedung-gedung lainnya. Terakhir menurut informasi yang beredar, sekolah ini sebentar lagi akan menjadi salah satu rintisan sekolah internasional di Medan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patoraglic [COMPLETE]
Novela JuvenilDemi mendapat perhatian keluarganya, Jora Melkinson rela belajar seharian di rumah, jauh dari dunia sahabat, demi menjadi siswa pintar di sekolah. Ia ingin dipuji ayah-ibunya atas prestasi gemilangnya di sekolah. Namun sedikitpun orang tuanya tidak...