Chapter 19 : Tanpa Sahabat

9 0 0
                                    

Mario mondar-mandir menunggu di depan ruang ICU. Jora, Sella, Andi, dan Bik Endah menatapnya dengan tidak tenang.

"Sudahlah, Mario. Kamu harus tenang dulu," kata Andi menenangkan, merasa tidak nyaman dengan yang dilakukan cowok itu.

"Bagaimana aku bisa tenang, Ibuku jatuh pingsan saat melihatku berkelahi. Bagaimana bisa kamu mengatakan itu?" timpal Mario tidak mau tahu. Ia merasa sedikitpun tidak bisa tenang. Pikirannya benar kacau. Bagaimana ini?

"Ya, tapi Mario kamu harus tenang. Kita berharap Bu Marta dapat sembuh..." kata Sella menyambung.

"Kalian semua diam saja! Kalian tidak tahu apa-apa. Kalian..." sergah Mario memotong perkataan Sella. Suaranya yang keras seakan tengah membentak.

"Mario," kata Jora pelan dan langsung menyentuh bahunya, berangsur-angsur menepuk-nepuknya pelan. "Cobalah untuk tenang sejenak. Kita di sini juga sangat mengkhawatirkan Bi Marta. Kita tidak ingin terjadi apa-apa dengannya."

Mario tidak langsung menerima Jora. Ia masih sangat panik dan gelisah. Hatinya belum bisa setenang itu. Tapi yang dikatakan Jora benar. Ia harus tenang sejenak. Ia harus yakin bahwa ibunya akan baik-baik saja sekarang.

Bik Entah bangkit dari keraguannya. Ia mendekati Mario, lalu menunduk ketakutan di depan cowok itu. "Semua ini salahku. Semua ini benar-benar saahku. Jika seandainya aku tidak menuruti kata-kata Ibu Marta untuk membawanya keluar, ini semua tidak akan terjadi," katanya menyalahi dirinya sendiri.

Jora melabuhkan tangannya ke lengan wanita tengah baya itu. "Bi Endah tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja, kok. Kita doakan saja, supaya tidak terjadi apa-apa dengan Bu Marta."

"Ya, Bi. Bibi tidak salah. Ini semua salahku," kata Mario yang masih menghadap tembok. "Aku yang menyebabkan Mama sakit seperti ini."

Jora bisa melihat betapa Mario menyalahkan dirinya. Ia juga mengesalkan semua yang terjadi.

Ketika kelima insan itu terlarut dalam keheningan, pintu ICU terkuak dan mengeluarkan beberapa orang di dalamnya. Salah seorang terdepan adalah sang dokter dengan dua orang suster yang mendampinginya.

Mario terperanjak dan langsung menghampiri dokter. "Bagaimana Mamaku, Dok?" tanyanya dengan ratap sedih.

"Mama kamu baik-baik saja. Ia hanya syok berat dan tidak sadarkan diri. Ia hanya butuh istirahat. Mungkin sekitar sejam lagi, ia akan terbangun dan kalian bisa menjenguknya," kata sang dokter yang langsung menciptakan suasana tenang di antara mereka.

Marta membuka matanya dengan pelan. Ia melihat bayang-bayang smaar. Ia memejam kembali matanya, membasahi bola matanya yang terasa begitu kering. Ketika ia membuka kembali, Mario berdiri di hadapannya. Memandangnya dengan hati yang tersayat. Memandangnya dengan perasaan bersalah yang membelenggu.

"Mama baik-baik saja?" kata Mario miris melihat ibunya yang terlihat begitu pucat dari biasanya.

Marta batuk, lalu menyahut dengan nada parau, "Mama baik saja, kok." Ia memaksa untuk tertawa, tapi sulit untuk melakukannya. "Mama yang terlalu memaksakan diri untuk keluar rumah, lalu melihatmu di sekolah."

Mario semakin dekat. Ia mencengkeram tangan Mamanya yang keriput, lalu menempelkan dahinya ke situ. "Ma, maafkan aku. Aku telah membuat Mama sakit seperti ini. Mama pasti sangat kecewa melihatku..."

"Sudahlah, tidak apa-apa," potong Marta dan tangannya menyentuh kepala Mario. "Tidak ada yang salah."

Mario menebar pandangannya di sekitar puteranya. Ia baru sadar ada orang lain di ruangan ini. Ada Bi Endah. Sella disampingnya. Ada seorang cowok yang asing di matanya, lalu Jora, seseorang yang membuat dahinya menyergit tidak nyaman.

Patoraglic [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang