Sekolah yang ramai dengan penghuninya terus-menerus berjejal, bergerak kesana kemari, tidak akan pernah peduli ketika Jora menemukan kembali kertas misterius di laci mejanya. Kertas warna-warni dengan inisial "S". Hari ini, hari selasa, kertasnya berwarna kuning—persis yang Jora terka sebelumnya. Entah kapan pertama kali ia mendapatkan teror seperti itu. Tapi lama kelamaan ia menjadi terbiasa dengan temuan-temuan kertas misterius itu, karena bukan hanya di laci meja, ia juga pernah menemukannya di dalam tasnya, di lipatan baju olahraganya dan di dalam bukunya.
Namun kertas teror yang ia terima bukanlah teror ancaman atau sejenisnya. Isi kertas itu juga bukanlah ejekan, atau kutukan yang biasa ia terima setiap hari, tapi merujuk kepada pujian. Seperti hari ini, isi tulisannya :
"Aku tidak sanggup mengatakannya. Aku hanya bisa mengagumimu dari jauh. Kamu lah lelaki yang terbaik yang pernah aku kenal. Aku selalu ingin memulai berbicara denganmu. S."
Tapi Jora tidak mau ambil pusing. Ia memilih mengabaikan kertas itu, meskipun tidak bisa dipungkiri ia juga memperhatikan kertas itu. Misalnya, biasanya di setiap akhir kalimat di kertas itu. Penulisnya selalu membubuhkan kalimat tanya—Jora rasa pelakunya mencoba untuk puitis. Contohnya, dua hari yang lalu, "Apakah aku masih punya keberanian untuk mangatakannya?" atau seringkali ia menuliskan "Apa yang harus aku lakukan agar aku mampu melakukannya, mengatakannya segalanya kepadamu?" Penulisnya selalu galau bagaimana caranya agar ia berani mengatakannya.
Jora sempat berpikir mungkin ada yang mengaguminya secara diam-diam. Lebih tepatnya, menyukainya.
Masalah cinta, Jora juga pernah menyukai seseorang. Dulu di samping rumahnya, tinggallah seorang gadis cilik yang cantik dan manis. Jora sadar ia menyukai cewek tersebut. Tapi itu sudah begitu lama. Sekarang, ia merasa hal seperti itu bukanlah kebutuhan yang mutlak. Bukan masalah tidak ada gadis yang menarik di sekolahnya, tapi Jora tidak pernah membiarkan hatinya terbuka lagi kepada siapapun. Tidak bisa dipungkiri, masalah keluarganya menggeser titik fokus hatinya. Bukan ia menyalahi ayah dan ibunya, tapi memang begitu lah kenyataannya. Semenjak kondisi selalu sendiri, hatinya belum pernah terisi sekalipun akan cinta sebagai kekasih, bahkan cinta sebagai sahabat.
Selain itu, Jora punya impian, kelak ia akan bisa menjadi dokter. Oleh karena itu ia mengerahkan pengabdiannya pada ilmu pasti. Matematika, fisika, kimia dan biologi dikelutinya begitu mendalam. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktunya demi mengurus sesuatu yang mengganggu, termasuk masalah cinta-cintaan.
"Jora!!!" seru Mario tiba-tiba bersamaan sebuah pukulan yang keras menyerang punggung Jora. Sumpah, itu benar-benar menyakitkan.
Jora menoleh ke kiri dengan rahang menggeram. Apalagi melihat pelakunya hanya bisa tersenyum tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Bisa nggak memanggil orang lain tanpa cara kekerasan?"
"Oh, ya, hari ini aku pengen makan di rumah makan Minang yang baru buka itu. Temenin aku ya?" kata Mario yang malah mengabaikan perkataan Jora.
"Tidak. Aku lagi sibuk belajar," tukas Jora.
"Ayolah, kali ini saja. Aku tidak punya teman," seru Mario memaksa.
Jora mendengus kesal. Ia tidak suka dipaksa seperti ini. Apalagi Mario semakin lama semakin berbuat seenaknya.
"Itu apa..." kata Mario begitu melihat Jora memegang kertas warna kuning. Tanpa permisi, ia menarik kertas. Setelah membacanya, wajah menjadi berseri-seri. "Jora ternyata kamu populer juga. Ternyata masih ada orang yang menyukaimu. Tunggu sebentar, ada inisial namanya... S... Siapa dia? Kamu kenal?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Patoraglic [COMPLETE]
Teen FictionDemi mendapat perhatian keluarganya, Jora Melkinson rela belajar seharian di rumah, jauh dari dunia sahabat, demi menjadi siswa pintar di sekolah. Ia ingin dipuji ayah-ibunya atas prestasi gemilangnya di sekolah. Namun sedikitpun orang tuanya tidak...