Belakangan ini tercuat berita yang tidak mengenakkan di area kompleks sekolah, yaitu tentang The Ghost—begitu semua siswa menyebutnya. Awalnya Jora berpikir mungkin ada kasus penampakan hantu. Saat pulang dari toko buku kemarin, Andi sempat heboh menceritakan tentang itu.
The Ghost yang dimaksud adalah Mario, salah satu siswa kelas XII IPA-B. Tiga bulan yang lalu, terjadi pertikaian berdarah antara Mario dengan kelompok geng kelas XII. Nama geng itu adalah Geng Garder. Geng Garder adalah kumpulan orang-orang yang menakutkan di sekolah ini. Serampangan. Tapi bagi Jora, geng itu merupakan kumpulan orang terbuang yang hanya bisa memeras uang jajan siswa lain dengan paksa. Ia juga sedikit mengakui kemampuan Mario mengenai pukulannya yang berhasil membuat ketua Garder, Adrian dan beberapa pengikutnya mendekap di rumah sakit.
Kejadian dua minggu lalu merupakan situasi yang jarang di mata Jora, berketepatan ketika Jora tengah menuju toilet. Ketika itu ia bisa melihat langsung Mario memukul anggora Garder dengan brutalnya. Ia tampak seperti super hero. Ia juga tidak menyangka dengan kemampuannya yang hebat itu, semua siswa menyebutnya The Ghost. Kemampuannya seperti hantu.
Namun itu tidak masalah bagi Jora. Itu bukanlah hal yang penting. Meskipun hebat, Mario itu tak ubahnya hanya orang bodoh dan dungu yang hanya mengandalkan kekuatan otot, bukan otak.
Begitu berjalan sekitar lima belas menit dari tempatnya, Jora tiba di tempat penyeberangan. Hari ini, hari senin. Tidak mengherankan begitu banyakanya manusia sibuk, bahkan hari pun masih pagi. Kondisi seperti itu malah tidak mengurangi jumlah manusia yang terasa terus bertambah. Tidak salah pula begitu banyak mobil yang berkeliaran dengan jalangnya. Ia berhenti dan menunggu sampai lampu lalu lintas berubah warna. Ia tengah berdiri bersama banyak orang, tapi tidak satu pun yang berhasil membuatnya berkelit. Ia hanya fokus melihat ke depan.
Lampu lalu lntas berubah warna. Hijau. Tanda bagi pejalan kakai untuk menjalani kesempatan mengitari zebra cross. Jora dan orang di sekitarnya langsung melaksanakan perintah itu.
Jora mengamati orang yang mendahuluinya berjalan. Semua berbicara satu sama lain. Semuanya punya topik yang mungkin menyenangkan untuk dibicarakan. Semua punya pasangan bicara. Semua... punya... temannya masing-masing. Teman? Sahabat?
Dia memperhatikan setiap lekuk wajah mereka meskipun tidak terlalu mendalaminya. Wajah mereka semua cerah dan bersemangat. Sebagian orang tertawa-tawa. Tidak sedikit pula malah berbisik-bisik, mungkin membicarakan sesutu yang sangat rahasia. Ada pula yang sampai menggebu-gebu. Dan semua nampak menikmatinya. Semua bahagia.
Bahagia. Bagaimana cara mereka menemukan itu? Mungkinkah... seseorang yang berada di samping mereka? Sahabat? Yang benar saja!
Jora mengibas-ibaskan kepalanya. Apa yang aku pikirkan? Bagaimana mungkin seorang sahabat bisa menimbulkan kebahagiaan? Ini tidak mungkin. Ia juga dulu punya teman. Maksudnya, sebenarnya ia tidak pernah punya teman. Tapi, ia juga pernah mengalami dunia kanak-kanak, di mana di dunia itu banyak sahabat, dan saat itu ia punya banyak sahabat, mungkin, atau lebih tepatnya, tidak ada. Ya, mungkin ini sebuah pembelaan diri baginya. Entah mengapa pula ia tidak begitu mengingat masa kecilnya, yang mungkin pada saat itu ia punya teman, atau mungkin punya teman, atau... Aduh, kenapa aku menjadi memikirkan itu?
Sebenarnya di lubuk hatinya paling dalam, ia benar-benar kesepian. Hidup yang dijalaninya ini begitu monoton. Seperti siklus, kebosanan itu terus mengotori hidupnya. Seolah-olah ia bernapas tidak menggunakan oksigen, melainkan karbon dioksida mentok. Ini artinya, ia bisa mati karena mengonsumsi udara kotor, menikmati kesepiannya sendiri. Sepi, bosan, dan gundah... Kata-kata itu cukup menggambarkan dirinya.
Di balik semua itu, ia membutuhkan kebahagiaan. Ya, sebuah rasa yang bisa membuat dirinya tersenyum, tertawa dan semacamnya. Entah mengapa ia merasa begitu sulit melakukan itu. Di mana aku bisa mendapatkan itu?
Sebelumnya ia berpikir ia akan bahagia apabila ia menjadi orang pintar. Tapi... tidak sedikit pun ia merasa bahagia.
Belum selesai perang berkecamuk di batinnya, ia telah tiba di trotoar seberang. Ia tidak tahu pasti sejak kapan ia tiba di situ. Ia melirik jam tangan. Masih sekitar lima belas menit lagi gerbang sekolah akan tutup. Jalan yang ditempuh dari sini hingga ke Hillbart sekitar lima menit. Ini artinya masih banyak waktu untuknya berjalan dengan santai.
Jora melanjutkan langkahnya tanpa mengindahkan siapapun. Tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Meski telah bersalah, ia terus berjalan tanpa mengucapkan apapun.
"Hei!"
Sial, pasti orang tidak penting. Apa masalahnya jika hanya menabrakanya. Jora memutuskan tidak mendengar dan terus berjalan.
"Hei! Kamu pekak, ya!?" kata orang itu dengan kasar. Ia mengikuti Jora.
Kenapa tidak habis-habisnya cowok itu mengikutinya. Kenapa ia masih bertahan mengikutinya meskipun ia sudah menunjukkan sikap yang tepat dan bersikap tidak peduli? Cowok itu benar-benar keras kepala. Sebaiknya aku abaikan saja dia!
Jora melanjutkan langkahnya tanpa mengindahkan cowok yang memanggilnya. Ia masih sempat mendengar suara sepatu cowok itu berdebuk-debuk menghampirinya. Nampaknya cowok itu tengah mengejarnya.
"Hei," katanya lagi dengan nada tajam. Ia memegang bahu Jora untuk menghentikan langkah cowok itu, dan berhasil. Meskipun respon itu tidak begitu menyenangkan, Jora langsung menepis tangannya dengan kasar.
Jora berbalik, mencoba membuktikan wajah cowok yang keras kepala dan menyebalkan. Cowok itu jangkung, lebih tinggi darinya. Wajahnya begitu rupawan tapi beringas, tampak menakutkan. Sebuag garis kemarahan melekat di pipinya. Hidungnya mencuat mancung. Beberapa plester menempel di pelipisnya. Tubuhnya begitu kokoh dan nampak tegas. Ia mungkin atlet atau semacamnya. Tubuhnya dibalut seragam putih abu-abu. Cowok itu tidak pernah dilihatnya sebelumnya.
"Siapa kamu?" kata Jora dengan sedikit menghindar. Ia sempat berpikir mungkin cowok ini seorang penjahat.
Cowok itu menaikkan alisnya yang tebal dan hitam pekat itu. "Seharusnya kamu meminta maaf padaku karena telah menabrakku," katanya dengan raut wajah marah.
Minta maaf? Apa-apaan cowok ini? Aku tidak mengenalnya sebelumnya, tapi ia berani menyuruhku meminta maaf. Memangnya siapa ia?
"Aku tidak mau. Aku tidak pernah bersalah," kata Jora dingin.
Cowok jangkung itu meraih kerah baju Jora dan menariknya dengan kasar. "Aku akan memaksamu minta maaf kepadaku kalau kamu tidak mau mengakui kesalahanmu."
"Tidak," sahut Jora singkat. Sedikitpun ia tidak merasa takut.
Cowok itu memukul perut Jora dengan kuat, lalu mencampakkan tubuh Jora ke trotoar. "Masih belum mau minta maaf?"
Jora tidak menjawab perkataan cowok itu. Ia bangkit perlahan-lahan. Perutnya semakin nyeri begitu ia bangkit. Dengan lantang, Jora menyahut, "Kamu kira aku selemah itu, aku tidak akan pernah minta maaf kepadamu, Sialan!"
Cowok itu menjadi geram. Ia menghampiri Jora dan menghajarnya habis-habisan. Di sela siksaan itu, Jora bisa mencium bau pekat parfum cowok berandalan itu, bau khas geranium.
"Masih tidak mau minta maaf?" kata cowok itu setelah melayangkan pukulan bertubi-tubi di pipi Jora. Namun korban masih bersikeras dengan pendiriannya, ia terus menolak untuk minta maaf.
"Hentikan!" jerit seseorang bersuara berat. Seorang guru tergopoh-gopoh menghampiri perkelahian yang sudah dikelilingi oleh banyak siswa. Tidak ada satu pun yang berani memisahkan mereka. Lelaki setengah baya itu langsung memisahkan cowok itu dengan Jora.
"Ada apa ini?" kata guru yang dipanggil Pak Renolf itu ketika merangkul Jora yang sudah babak belur. "Kenapa kamu memukulnya?"
Cowok itu tidak langsung menjawab. Ia masih sangat geram melihat Jora. Tanpa memperdulikan guru itu, ia langsung pergi. Merasa jalannya dihalangi, siswa yang mengerumun di sini dihempasnya dengan kuat.
"Mario, kamu kemana?" kata Pak Renolf yang masih tidak tenang. Melihat cowok itu tidak mengindahkannya, ia membawa Jora ke ruang UKS.
∭

KAMU SEDANG MEMBACA
Patoraglic [COMPLETE]
Fiksi RemajaDemi mendapat perhatian keluarganya, Jora Melkinson rela belajar seharian di rumah, jauh dari dunia sahabat, demi menjadi siswa pintar di sekolah. Ia ingin dipuji ayah-ibunya atas prestasi gemilangnya di sekolah. Namun sedikitpun orang tuanya tidak...