Jora tersaruk-saruk pulang dari sekolah. Entah mengapa ingin rasanya ia begitu tiba di rumah. Semenjak kejadian tadi pagi, ia menjadi lesu. Tidak bisa dipungkiri, ia selalu memikirkan itu.
Saat ini ia tidak bisa menjabarkan dengan pasti apa yang ia rasakan. Mungkin ia sedikit senang, tapi hatinya tidak merasa seperti itu. Ia juga merasa bingung, entah mengapa. Ada sedikit rasa kesal. Hatinya juga ragu-ragu. Namun hatinya juga pedih. Ada juga sedih di benakanya. Ada apa dengannya?
"Dia ingin berteman denganmu. Ia kasihan kepadamu. Ia ingin kamu punya teman di sekolah ini. Ia tidak ingin kamu kesepian."
Kalimat itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Tidak salah lagi, kalimat itu juga membuat perasannya tidak karuan seperti ini. Terkadang ia seperti menyalahi dirinya sendiri, tapi ada kalanya ia merasa telah melakukan tindakan yang benar. Sial, perang dimulai lagi di hatinya.
Jora meleguh pelan, lalu memandang ke depan. Sebentar lagi ia tiba di tempat penyeberangan.
Andi memang baik sekali kepadanya selama ini. Cowok itu seperti tidak habis energinya untuk membuntuti Jora. Meskipun Jora selalu ketus dan tidak peduli, ia selalu menyempatkan diri untuk menyenangkannya. Ia selalu mengajakanya makan bersama, bermain bersama, tapi semua ditolakanya dengan mentah.
Tapi, sedikitpun ia tidak ingin berteman dengannya. Kenapa? Apa karena ia tidak begitu pintar? Ia pernah dengar cowok itu menjadi peringkat terakhir di kelasnya. Ya, mungkin cowok itu tidak sebanding dengannya. Ia terlalu pintar apabila berteman dengan cowok seperti itu. Lalu, orang seperti apa yang bisa bersanding dengannya? Jora menjadi pusing.
"Awas," kata seseorang yang langsung menarik kerah belakang Jora untuk menghindari jalan, menolong cowok yang termenung itu meneboros jalan.
Jora tidak sempat berpikir apa-apa. Ia hanya mendapati dirinya jatuh karena ditarik orang dengan kuat.
"Apa kamu bodoh? Kamu hampir saja ditabrak mobil. Kamu seharusnya belum bisa menyeberangi jalan dengan kondisi seperti itu," kata cowok itu melepas kerahnya, membiarkan Jora menghindar dengan cepat.
Jora kembali menjernihkan pikirannya. Gara-gara memikirkan hal yang tidak penting, jiwanya hampir saja melayang. Tanpa mengucapkan apa-apa, dan masih menunduk, Jora langsung pergi. Memilih jalan yang berbeda. Ia pikir sebaiknya ia terus berjalan, dan ketika menemukan zebra cross lain, ia akan menyeberang.
"Heh, tunggu dulu."
Ada apa lagi ini? Jora berbalik. Seseorang berada di hadapannya. Sekejap matanya langsung membelalak tidak percaya. Ia yakin mengenal cowok ini. Apalagi wangi ini. Wangi geranium pekat yang memuakkan. Mario, cowok jangkung yang mendapat sebutan "The Ghost" berdiri dengan pandangan beringas.
"Ada apa?" sahut Jora datar.
Cowok itu mengernyitkan dahi. "Ada apa, kamu bilang? Seharusnya kamu berterima kasih kepadaku."
Jora tidak menyahut. Ia tidak tahu harus bersikap apa. Ia sama saja terlarut dalam kondisi yang sama dengan Mario. Memperdebatkan pendirian. Yang jelas ia tidak akan melakukan itu. Ia tidak akan berterima kasih kepada orang yang tidak penting seperti Mario. Lagipula siapa yang menyuruhnya untuk menolong. Tanpa menyahut pernyataan Mario, ia langsung berbalik dan pergi karena merasa ini bukanlah pembicaraan yang tidak penting.
"Hey!!" kata cowok itu tidak terima diabaikan begitu saja. "Aku yakin kamu adalah orang yang tidak tahu diri. Hidupmu akan selalu dibenci orang. Kamu akan hidup dalam kesendirian dan tidak berguna."
KAMU SEDANG MEMBACA
Patoraglic [COMPLETE]
Teen FictionDemi mendapat perhatian keluarganya, Jora Melkinson rela belajar seharian di rumah, jauh dari dunia sahabat, demi menjadi siswa pintar di sekolah. Ia ingin dipuji ayah-ibunya atas prestasi gemilangnya di sekolah. Namun sedikitpun orang tuanya tidak...