"Lang, ngapain ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Rafa?" tanyaku bertubi-tubi.
Gilang masih diam tak menjelaskan satu kata pun.
Aku merasakan kehancuran detik ini juga. Dimana dihadapanku, seseorang yang mengecewakanku semalam dalam keadaan memejamkan matanya. Dengan alat bantu dimana-mana.
"Dia emang keliatan baik-baik aja, Nad. Tapi akhir-akhir ini kondisinya menurun." jelas Gilang.
Aku masih diam, tak berkutik. Bingung harus bereaksi seperti apa.
"Itu Tante Heni, nyokapnya Rafa. Dia selama ini yang nanganin Rafa." tunjuk Gilang kepada seorang wanita paruh baya berjas putih khas dokter.
Aku ingin bergerak, tapi aku malah terduduk di lantai rumah sakit.
"Harusnya gue ga ngasih tau ini ke lo. Tapi tolong, lo pura-pura ga tau apa-apa. Anggap Rafa baik-baik aja, ok?"
"Gue mau pulang."
Aku mencoba berdiri. Tapi percuma. Lututku terlalu lemas untuk digerakkan.
Satu kata dalam benakku, kenapa harus Rafa?
"Gue minta maaf, Nad. Lo bisa kan kasih dia semangat? Dia paling suka liat lo senyum dan ketawa di depan dia." ujar Gilang mengemangati.
Aku hanya mengangguk dengan senyum hambar menatap Gilang yakin.
Aku tidak menangis. Ini memang kabar buruk yang menyedihkan sekaligus menyakitkan untukku.
Aku tidak pernah menangis karena Rafa sejak detik itu. Tapi semua perjuanganku untuk terlihat baik-baik saja setiap bertatap muka dengan Rafa, hancur begitu saja di hari itu.
Dan aku tidak pernah mau dan tidak ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Rafa. Apapun itu, aku tak ingin menyebutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled Memories
Short Story[COMPLETED] Semesta punya rencana. Begitu pula Nada yang memiliki puluhan cara untuk menghabiskan waktu-waktu untuk menorehkan memori menyakitkan di otaknya. Jika ia selalu berusaha membuat Nada tersenyum dengan caranya, Nada ingin waktu berhenti. ...