Wanna Eat Together?

442 38 1
                                    

Mungkin aku hanya perlu bertahan sedikit lebih lama, bukan begitu, Yang Mulia?

-x-

Dua minggu itu adalah waktu yang terlalu singkat untuk dihabiskan bersama orang yang spesial. Apalagi jika selama dua minggu itu kalian tidak bisa sepenuhnya bersama setiap waktu. Empat belas hari bisa menjadi sangat singkat jika situasinya sudah seperti itu.

Trista merasakannya dengan sangat nyata.

Mengenal Evelina adalah sesuatu yang menyenangkan baginya, tapi kini gadis itu malah akan berada di luar jangkauannya. Tidak ada yang dapat disalahkan memang. Evelina juga tidak bisa disalahkan karena itu haknya untuk menimba ilmu di tempat yang diimpikannya. Justru, sebagai teman Trista harusnya menyelamatinya dan mendukung dengan sepenuh hati.

Tapi masalah hati memang tak dapat ditipu, ya kan?

Beasiswa Toudai yang dinantikan semua orang jatuh ke tangan Evelina. Ia menjadi gadis yang beruntung, karena hasil kerja kerasnya dinilai Profesor Imagawa sebagai yang terbaik. Kemudian kemampuan bahasanya juga sudah mencapai level 4. Atas dasar pertimbangan inilah, kesempatan pertukaran pelajar itu diberikan.

Sebagai orang yang sangat mendambakan kesempatan untuk belajar di negeri sakura, reaksi Evelina saat berita itu menghampirinya sama sekali di luar dugaan Trista. Dalam bayngannya, Evelina mungkin akan berteriak dan melompat girang ketika Aya dan Ardiez menyampaikan hal itu padanya. Tapi Evelina hanya menoleh dan tersenyum tipis, tidak lebih dari itu. Tak ada luapan kebahagiaan membuncah dari dirinya, terlalu biasa, justru terlihat sedih kalau boleh dibilang.

Yah, mungkin karakter Evelina memang seperti itu? Tidak menunjukkan perasaan yang meluap-luap mengenai sesuatu.

Di mulailah dua minggu persiapan sebelum Evelina meninggalkan negeri ini. Dua minggu yang begitu menyesakkan dan dua minggu yang begitu melelahkan, seperti sedang menaiki roller coaster.

Trista yang baru mulai dekat dengan Evelina dibuat terheran-heran mengapa Samara—kakak tingkatnya—terobsesi sekali untuk mengajaknya makan. Ia selalu muncul kapan pun Aya dan Ardiez sedang mengikuti kelas mereka, ketika Evelina sedang sibuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Samara selalu ada di sana kapan pun Trista sedang sendiri, membuatnya mulai merasa takut dan curiga.

“Aku hanya ingin makan denganmu, tidak boleh?”

Pertanyaan itu bagai menusuk-nusuk hati Trista, membuatnya merasa seperti orang ang begitu jahat.

“Bukannya tidak boleh..”
Trista hanya terlalu waspada untuk membiarkan dirinya berada di dekat orang ini. Dia berbahaya, licik seperti ular. Tidak ada yang tahu apa yang direncanakan gadis pemilik senyuman matahari ini. Trista tidak boleh lengah walau barang sedetik.

“Kenapa? Kau tidak menyukaiku?” tanya Samara lagi.

Hampir saja Trista mengiyakan pertanyaan itu dengan anggukan kepala, untungnya mulut gadis itu bergerak lebih cepat lagi, “Tidak!”

“Kalau begitu ayo, aku yang traktir!”

“Ah, aku baru ingat kalau aku tidak makan siang, hahahaha” dengan alasan seperti itu Trista berhasil melarikan diri dari Samara—yang ternyata justru mengejarnya hingga jam makan malam juga.

Setelah melalui perdebatan panjang lebar, akhirnya Trista pun takluk dan dibuat duduk berhadapan dengan Samara di sebuah minimarket tak jauh dari kampus mereka. Di meja yang memisahkan keduanya, berderet empat buah nasi kepal berbentuk segitiga dan kopi kalengan dingin yang membentuk sebuah garis lurus.

Keduanya saling bertatapan, dengan canggung pastinya. Suasana di sekitar mereka terasa begitu berat. Demi Tuhan, Trista tak dapat tenang duduk mengadap Samara seperti ini. Orang yang ada di depannya ini bukanlah orang baik seperti kelihatannya. Evelina sendiri yang mengatakan kalau gadis ini berwajah dua, tidak ada yang tahu apa yang direncanakannya dibalik senyumannya itu.

The Princess Who Could Not SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang