This is (not) April Fools

345 38 1
                                    

Aku hanya ingin percaya, bahwa kau benar-benar hadiah yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku hanya ingin percaya, bahwa kau memang dikirimkan Tuhan untuk memberi warna baru pada kehidupanku. Melukiskan senyum dan kehangatan yang ku pikir tak akan lagi ku rasakan. Aku hanya ingin mempercayai semua hal itu.

Tanpa meragukan takdir yang tak terduga ini bergulir dan membiarkannya seperti itu.

-x-

1 April.

Jika normalnya setiap orang menantikan hari kelahirannya, maka Trista sama sekali tak keberatan dikategorikan sebagai orang yang tidak normal. Karena baginya, hari kelahirannya itu adalah tragedi terbesar dalam sejarah kehidupan. Baik itu miliknya, maupun milik ibunya. Dari awal tak ada yang mengharapkan kelahirannya, tak ada yang menginginkannya.

Bahkan ibunya sekali pun.

Setiap kali hari itu datang, Trista merasa begitu hampa dan kosong. Ingin menangis pun rasanya tak bisa lagi. Trista bagai mati rasa, seperti mayat hidup yang berjalan ke sana kemari tanpa dapat merasakan apapun, tanpa emosi sedikit pun. Karena baginya terus menangisi kenangan itu pun sudah tak ada lagi maknanya, ditangisi pun tak akan ada yang berubah, ya kan? Ia dan ibunya tak akan dipersatukan dan hidup seperti layaknya pasangan anak dan ibu, kan?

Karena itu Trista memilih untuk diam. Lagipula, hari kelahirannya bagi orang lain itu tak lebih dari sekedar candaan semata. Sebab, pada tanggal 1 April bukankah semua orang saling menipu satu sama lain atas dasar kesenangan. Jika sudah begitu, apa salahnya jika dia sekalian menipu dirinya sendiri bahwa ia bahagia bahkan setelah dibuang ibunya tujuh belas tahun yang lalu?

Ya, tentu saja tidak salah dan begitulah Trista menjalani ulang tahunnya dari tahun ke tahun. Namun, sepertinya untuk tahun ini ada masalah lain yang sepertinya membebani pikiran Trista. Sesuatu yang sama sekali tak disangkanya akan didengarnya dari Samara dan kakaknya, sebuah kisah memilukan yang dipikirnya hanya terjadi di dalam cerita.

Ternyata ada yang kehidupannya lebih berat daripada aku, ya... ungkap Trista pada dirinya sendiri sambil tersenyum pahit.

Mungkin, kini pun ia telah membuat spekulasi sendiri mengenai kepribadian Samara yang bermasalah itu. Alasan kenapa ia berwajah dua seperti yang dikatakan Marina dan alasan kenapa ia selalu menggunakan kekerasan seperti yang diceritakan Evelina, semua itu dipicu oleh masa lalunya yang pelik itu. Setelah mengetahui semuanya, entah kenapa Trista malah semakin simpati pada Samara. Perasaannya seperti semakin membludak dan minta segera diutarakan, agar ia bisa menjaga dan membimbing Samara...

“Ah, aku ini memikirkan apa sih!?” gumam Trista sambil memukuli kedua pipinya.

Ponsel yang mengisi saku paling depan tas Trista berdering nyaring, cukup untuk menghentikan pemiliknya dan membuatnya merogoh saku tasnya itu. Sebuah panggilan masuk, nama kontak Aya berpendar di layar ponsel Trista. Gadis itu pun segera saja menerima panggilan tersebut dan menyahut dengan suara riang.

“Halo?”

Eonni, kau di mana?” tanya Aya di seberang sana dengan suara yang tak kalah riang.

“Aku baru keluar kelas, kenapa?”

“Kami menunggu eonni di kantin, cepat kemari, ya!” pinta Aya.

“Aku akan ke sana kalau kau berhenti memanggilku dengan sebutan itu,” sahut Trista sambil tersenyum jahil.

Terdengar suara tawa Aya di seberang sana, “Kami tunggu, ya, bye-bii!”

Panggilang terputus begitu saja, Trista hanya geleng-geleng kepala memikirkan tingkah sahabatnya itu sembari memasukkan ponselnya kembali ke dalam tasnya. Setelah memastikan bahwa ponselnya tidak akan terjatuh, gadis itu kembali melanjutkan perjalanannya, kali ini menuju kantin kampus, tempat Aya dan Ardiez menunggunya. Namun..

The Princess Who Could Not SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang