Epilog : Sweet Pea

672 49 23
                                    

Kau akan pergi?

Tanya sang putri muram melihat gadis pembawa lentera itu mengangkat lenteranya tinggi dan beranjak dari sisinya.

Ya, aku harus pergi sekarang.

Gadis itu menyahut dengan seulas senyum di wajahnya.

Sang putri jelas tak mengizinkannya, ia merengek dan memohon agar gadis itu tak pergi kemana pun. Putri itu tak mau kembali seorang diri di kastil tua yang sepi itu. Kembali hanya termenung menatap rembulan di malam yang panjang.

Jangan khawatir, suatu hari nanti aku pasti akan kembali kemari.

Gadis pembawa lentera itu masih tersenyum pada sang putri.

Kau berjanji?

Ya, aku berjanji.

-x-

“Masih tidak mau membuang itu?” tanya Marina dengan wajah kesal, dagunya menuding bunga yang sudah lama mengering di dalam vas bening yang mengisi sudut meja kerja Samara—bahkan rasanya bentuknya sudah sangat tidak jelas lagi.

Wanita itu sudah muak karena adiknya terus menyimpan bunga itu sejak hari kelulusannya beberapa tahun silam.

“Tidak,” sahut Samara dengan cepat.

“Cepat buang itu! Itu menjijikkan tahu!” Marina benar-benar muak.

Samara masih tetap keras kepala, “Tidak akan ku buang! Ini hadiah terakhir yang ku dapat dari Trista!”

Buket bunga sweet pea putih yang awalnya mengisi vas tersebut menjadi hadiah terakhir yang diterima Samara dari Trista setelah malam ulang tahun Marina hari itu.

Sebuah pilihan yang unik karena biasanya mawar akan lebih dipilih sebagai hadiah untuk diberikan pada kerabat di hari kelulusannya. Namun, Samara mengerti mengapa Trista memutuskan untuk memberikan sweet pea padanya.

Itu adalah salam perpisahan karena mereka tak akan lagi berjumpa setelah ini.

Keduanya telah memilih untuk menempuh jalan masing-masing yang berbeda pula. Tidak melangkah bersama.

“Kenapa kau jadi kepala seperti ini, sih? Mau sampai kapan kau mau terjebak dalam masa lalu, Maranochka?” tanya Marina.

“Ak selalu keras kepala sejak dulu dan aku memilih untuk terus terjebak di sana sampai kapan pun.” Sekali lagi Samara memberikan jawaban cepat pada kakaknya. Tak perlu banyak berpikir karena itulah jawaban yang akan selalu dilontarkannya.

Marina hanya bisa menghela nafas berat, tak sanggup berdebat lebih lama mengenai betapa batunya kepala sang adik itu.

“Lakukan sesukamu saja,” ucap Marina menyerah, “Oh, jangan lupa kepak barangmu. Penerbangan kita besok pagi-pagi sekali. Kita harus bereskan kekacauan di kantor cabang sebelum Mama yang turun tangan langsung.”

“Aku mengerti,” sahut Samara yang masih sibuk melanjutkan pekerjaannya.

Atau mungkin takdir memiliki ceritanya sendiri?

.
.
.
.
.
.
.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, Trista tak yakin.

Tak banyak hal yang terjadi pada dirinya semenjak hari itu berlalu, lingkungannya pun rasanya tak banyak berubah.

Setelah lulus ia segera mencari kehidupan yang sebenarnya, meninggalkan semua pekerjaan paruh waktunya untuk pekerjaan yang sesungguhnya.

The Princess Who Could Not SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang