The Chickens Come Home to Roost

288 27 2
                                    

Apakah kau tidak tidur?

Gadis pembawa lentera itu bertanya pada sang putri, wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Sang putri menggelengkan kepalanya, membalas pertanyaan dengan senyuman kecil.

Aku akan tetap terjaga di sini, menjagamu selagi dirimu terlelap.

Rona merah memenuhi pipi pucat gadis itu, ia menundukkan kepalanya agar wajah tersipunya tertutupi. Sang putri diam-diam tersenyum melihat tingkah gadis itu. Walau hatinya sedikit sakit, karena sesungguhnya ia tetap terjaga seperti ini bukan karena ia menginginkannya. Namun, karena ia memang tak bisa terlelap bersama gadis itu.

Ia masih menunggu seseorang mematahkan kutukan yang memayunginya sejak lama.

-x-

Samara kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan delapan jahitan pada bahunya. Gadis itu ditemani oleh Trista yang matanya tampak sembab karena terus saja menangis sejak tadi.

Marina, kakaknya, sedang dalam perjalanan menuju kemari dari pekerjaannya yang kebetulan mengharuskan ia pergi ke negeri seberang. Entah berapa lama lagi wanita itu akan datang, Samara tidak tahu, juga tidak begitu peduli.

Karena yang dibutuhkannya saat ini sudah berada di sisinya.

Samara menggenggam tangan Trista dengan lembut, jemari mereka saling bertautan. Tak seorang pun dari mereka menunjukkan tanda akan melepaskan genggaman itu. Seperti dilumuri dengan lem, tangan mereka terus saja bersama.

Hangat yang menjalar dari tangan Trista ke tubuh Samara membuat gadis bersurai hazel itu merasa begitu nyaman. Hatinya yang tadi sempat kacau kini menjadi tenang dan tentram. Tak pernah sebelumnya ia merasa begitu panik dan takut seperti yang dirasakannya tadi, tak pernah selain saat kecelakaan yang merubah segalanya itu terjadi.

Melihat Trista kini duduk di dekatnya benar-benar membuat Samara dapat kembali bernafas lega, ia bahkan mungkin sudah melupakan rasa sakit yang membekas pada bahunya.

“Kau tidak apa-apa, kan? Tidak ada yang terluka?” Samara bertanya dengan suara lembut, tangannya yang bebas bergerak pelan mengusap pipi Trista.

Kekasihnya itu menggelengkan kepalanya pelan, “Bicara apa, sih? Harusnya aku yang bicara seperti itu..”

“Ah, benar, juga, ya..” balas Samara sambil tertawa kecil, “Tapi, aku sungguh bersyukur kau tidak terluka sedikit pun.”

Trista menunjukkan wajah pilu, ia menundukkan kepalanya dan mulai menangis. Sepertinya ia benar-benar menyesal akan semua yang terjadi hari ini dan menyalahkan dirinya sendiri sepenuhnya. Jelas Samara menentang hal itu. Trista tidak bersalah apa pun dalam insiden kali ini.

Yang bersalah adalah bedebah kurang ajar yang tidak mengenal jera itu.

Mungkin seharusnya Samara benar-benar membuatnya kehilangan kemampuan bicara, berjalan, bahkan bernafasnya malam itu. Membuatnya hanya merasakan patah tulang dan beberapa memar mungkin memang tidak cukup.

“Kalau saja aku tidak pergi ke sana, mungkin saja kejadiannya tidak akan seperti ini..” isak Trista, “Semua ini salahku,”

“Trista..”

“Seharusnya senior tidak berlari dan menyelamatkanku tadi.. Dengan begitu—”

“Dengan begitu apa?” ekspresi Samara tiba-tiba saja mengeras, ia memandang Trista dalam-dalam. “Dengan begitu aku bisa melihatmu terbaring dengan kepala pecah dan bersimbah darah, begitu?”

“Kau lebih suka begitu?”

“...Akan lebih baik jika seperti itu,” Trista berkata dengan volume yang sangat rendah, berharap Samara tidak akan mendengar bisikannya itu. Namun sepertinya Samara memang dianugerahi Tuhan dengan telinga yang luar biasa bagus.

The Princess Who Could Not SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang