Cross The Rubicon

248 27 1
                                    


Lentera yang dibawa gadis itu masih menyala di sudut ruangan. Pancaran cahayanya menerangi ruangan pergi yang mereka tempati bersama. Bayangan sang putri dan gadis pembawa lentera itu jatuh pada dinding bata yang menyusun separuh kastil.

Kau tidak mematikan lenteranya,

Sang putri berujar pelan pada gadis itu.

Aku tidak suka gelap, jadi aku membiarkannya terus menyala.

Gadis itu mengeratkan pelukan pada kedua lututnya.

Lagipula, aku juga akan segera pergi lagi.

-x-

Samara mungkin sudah pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya.

Ya, ini kedua kalinya ia melihat Trista duduk di pinggir tempat tidurnya dengan wajah khawatir dan kalut. Pemandangan yang sama dengan tempat yang sama pula, yaitu kamar rumah sakit.

Air mata tampak mengering di pipi Trista, bukti bahwa gadis itu sempat menangis kencang sekali beberapa waktu yang lalu. Matanya membengkak setelah menangisi Samara hampir semalaman.

Padahal Samara hanya mendapat empat jahitan pada lengan kirinya, tak sebanyak yang didapatkannya di bahu ketika dirinya tertimpa pot yang jatuh dari lantai dua. Tetapi, tetap saja Trista menangis untuknya tanpa henti selama Samara ditangani oleh tim medis.

Upaya pengalihan Samara terhadap Nicholas yang dilakukan guna mengulur waktu hingga polisi datang malam kemarin berujung dengan Samara yang dilarikan ke rumah sakit. Pria yang kini sudah diamankan oleh pihak berwajib itu ternyata memang telah mengantongi pisau sejak awal.

Samara yang saat itu sibuk menghindari pukulan beruntun dari Nicholas di tengah gelapnya malam sama sekali tidak menyadari pisau itu tiba-tiba ditarik keluar dari dalam saku dan diayunkan padanya. Namun, untungnya Samara dapat menghindari luka yang cukup serius dan hanya melukai lengannya saja.

"Kau pasti lelah, kan?" tanya Samara pada Trista.

Gadis itu menggeleng, mencoba menyangkal fakta bahwa ia perlu isirahat walau matanya terlihat begitu lesu dan sayu. Samara hanya tersenyum kecil menanggapi kebohongan gadisnya itu.

Selimut yang membalut bagian bawah tubuh Samara disibak dengan perlahan. Tangan kanan Samara menepuk bagian kasur yang masih kosong beberapa kali sambil menoleh ke arah Trista.

Mengajak gadis itu untuk naik ke atas kasur bersama Samara, merebahkan diri bersama kemudian terlelap dengan tenang.

Trista awalnya sempat ragu, ia tak ingin terlalu dekat dengan Samara saat ini—keadaannya sangat berantakan.

Namun, Samara sama sekali tidak peduli akan hal itu. Seperti apapun rupa Trista, perasaannya tak pernah sedetik pun berubah. Trista yang ada dihadapannya ini tetaplah Trista yang membuat hatinya bergetar.

Senyuman puas tak dapat dielakkan muncul pada persona Samara saat Trista akhirnya mengalah dan berbaring di samping Samara dengan tenang.

Tubuh gadis bersurai hazel tersebut miring ke arah Trista, tangannya yang baru mendapat enam jahitan direbahkan pada pinggul Trista. Surai Trista yang semberawut dirapikan dengan penuh perhatian oleh Samara.

Selagi mereka berbaring seperti itu, Samara dapat menangkap ekspresi wajah tak wajar dari Trista. Gadis itu seolah sedang menahan sesuatu—ingin berkata namun ragu, entah karena apa.

"Ungkapkan saja," tukas Samara sambil terus mengusap kepala Trista dengan lembut, "Apapun itu ungkapkan saja."

Mata mereka saling beradu setelahnya. Trista dengan sorot mata ragu memandang Samara yang terus berusaha meyakinkan gadis itu.

The Princess Who Could Not SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang