One Who Speaks For Others

357 32 1
                                    

Ketika segala sesuatunya telah menyangkut tentang orang lain, segalanya menjadi rumit. Keputusan yang biasanya dapat kau ambil dan putuskan dalam hitungan detik menjadi begitu membingungkan dan sulit diambil karena tak hanya mengenai dirimu sendiri, namun juga orang lain.

Termasuk mengambil keputusan untuk mengikuti takdir Tuhan atau pun melawannya.

Hubungan dengan orang lain membuatmu menjadi ragu pada dirimu sendiri dan mengubahmu menjadi orang yang sama sekali berbeda hingga kau menjadi tak mengenali dirimu sendiri.

Segala sesuatu yang kau putuskan menjadi terasa sangat terikat dan sama sekali tidak bebas. Akan lebih bagus jika yang mengikat itu adalah perasaan cinta satu sama lain.

Namun, bagaimana kalau mereka berdua tak pernah sekalipun merasakan emosi roman antara satu dengan yang lainnya.

-x-

Noona sungguh tidak akan memberikan rekamannya pada senior Evans?” tanya Ardiez sambil membuka pembungkus nasi kepalnya—teman sarapan yang baik ketika kau tak sempat menyiapkan apapun.

Aya pun menatap Trista dengan penasaran, keduanya sama-sama menuntut jawaban dari sang terdakwa yang saat ini sedang pura-pura tak mendengarkan dengan membaca catatannya dan mengunyah nasi kepalnya dengan sangat lambat. Kesal diabaikan, Aya dan Ardiez pun secara kompak menyita makanan serta buku yang dijadikan tameng oleh Trista itu. Trista yang sadar bahwa dirinya tak dapat menghindar lagi akhirnya mengalah, ia tentu saja selalu tahu kapan ia harus menyerah jika sudah berhadapan dengan Aya dan Ardiez.

“Tentu saja tidak akan ku berikan, kita hanya perlu memberikannya pada polisi, Samara tidak perlu tahu soal ini.” jawab Trista dengan yakin, namun suaranya ia pelankan karena tak ingin siapapun selain mereka bertiga mendengar hal ini.

“Kenapa tidak beritahu saja? Masalah seperti ini akan lebih cepat selesai kalau senior Evans juga turun tangan, eonni!” saran Aya yang sedikit tidak setuju akan keputusan Trista untuk tidak membagi ini pada Samara.

Trista menggelengkan kepalanya, ia tak ingin merusak kebahagiaan Samara dan menambah beban pikirannya hanya karena hal itu. Samara baru saja bergembira karena akhirnya ia dapat tidur di malam hari—walau belum bisa seperti orang normal lainnya dan terkadang hanya bisa melakukannya jika ada Trista menemaninya—siapa pun tentu saja tak ingin mengganggu masa yang menggembirakan ini dengan masalah seperti ini.

Kejadiannya di mulai sekitar seminggu yang lalu, Nicholas Genenoveva—mahasiswa yang mengambil cuti karena rumornya mengalami patah tulang parah akibat kecelakaan—kembali ke kampus. Tentu saja kembalinya dia membuat anak-anak jurusan manajemen bisnis mendadak ribut. Ada yang senang ia kembali karena itu artinya mereka punya bank baru selain Samara untuk dimintai traktiran makan daging dan minum-minum, namun ada juga yang tidak senang karena sudah tahu akan tabiat buruknya yang menyebalkan itu, dan tentu saja ada juga golongan yang sama sekali tidak memerdulikannya—hanya sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Trista pun awalnya ingin menjadi orang yang sama sekali tidak peduli mengenai hal itu, namun Nicholas yang tiba-tiba mendatanginya merubah segalanya. Awalnya tentu saja hanya berupa sapaan ramah, ia menghampiri Trista untuk mengucapkan salam padanya sebagai kakak tingkat yang baik—begitulah alasan awalnya. Namun, Nicholas mulai menunjukkan sikap-sikap yang mengganggu Trista dengan mengiriminya pesan tanpa henti setiap harinya—entah dari mana ia mendapatkan nomor dan e-mail Trista—tak cukup hanya mengirim pesan, ia juga meneror Trista dengan panggilan yang tanpa henti hingga akhirnya Trista harus mengganti nomor ponsel dan alamat e-mailnya. Untungnya, orang-orang yang memiliki nomor dan e-mail Trista tidak begitu banyak, sehingg tidak memerlukan terlalu banyak waktu untuk mengabari mengenai perubahan itu.

The Princess Who Could Not SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang