Honesty

374 43 1
                                    

Sang putri tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.

Ia tak dapat beranjak dari jendelanya, rasanya jika menjauh sedetik saja menjadi sesak. Padahal beberapa waktu lalu ia sudah muak dengan jendela besar itu, ingin pergi keluar. Tetapi, kini ia malah selalu melongok keluar jendela—untuk melihat penyelamatnya datang.

Setiap waktu ia selalu memandang keluar jendela, memerhatikan lentera yang bergerak mendekat itu. Ketika malam telah larut, ia akan berhenti sejenak, beristirahat di dekat pohon-pohon yang ada dan melanjutkan perjalanan kala mentari terlihat di ufuk timur.

Lekaslah sampai, frasa itu terus diulang oleh sang putri yang telah lama menantikannya.

-x-

Samara memandang ke kursi penumpang mobilnya dengan pandangan sendu, tangannya bergerak mengelus surai coklat gelap milik gadis yang tertidur di sana.

“Nathaniel, kita sudah sampai..”

Tak ada jawaban—tentu saja—gadis itu benar-benar sudah terlelap, mungkin pengaruh dari minuman keras juga. Samara membuka pintu kemudi, berjalan menuju pintu belakang agar ia dapat mengeluarkan Trista dari dalam mobil.

Tubuhnya yang mungil dengan mudah diangkat oleh lengan Samara. Setelah memastikan mobilnya terkunci, Samara berjalan masuk ke dalam rumah bersama Trista dalam dekapannya.

Rumah besar itu begitu sepi. Ketika pintu terbuka yang menyambut hanyalah sunyi dan ruangan gelap. Tak ada siapapun menyambut kepulangan gadis itu. Bukan karena malam sudah terlalu larut, tetapi karena memang tak ada siapapun di sana. Samara tinggal seorang diri di bangunan yang mungkin lebih cocok untuk disebut sebagai villa tersebut. Marina terkadang datang berkunjung, tetapi tidak begitu sering. Sekarang pun kakaknya itu sedang berada di luar negeri karena pekerjaannya.

Samara berjalan melewati lorong sepi, cahaya bulan masuk melalui jendela yang berjajar di dinding. Lorong itu selalu membawa kenangan dari masa kecilnya setiap kali Samara berjalan di sana. Bayangannya mengejar kakak-kakaknya menuju pintu di ujung lorong kembali terlihat, masa kecil yang bahagia. Tawa mereka terngiang di telinga Samara.

Namun, kenangan buruk tiba-tiba saja menyapu semua itu pergi. Kini yang terdengar hanya suara tangis dan teriakan pilu. Samara memejamkan kedua matanya erat-erat. Berharap ingatan itu segera berhenti berputar di dalam kepalanya bagai kaset rusak.
Pintu besar penuh ukiran menghadang Samara. Itu adalah pintu kamar di ujung lorong, dibalik pintu itu terdapat kamar yang selalu digunakan Samara kecil dan saudaranya untuk bermain. Kini kamar itu menjadi kamar milik Samara.

Walau sempat sedikit kesulitan, Samara akhirnya berhasil membuka pintu itu dan masuk ke dalam. Pemandangan dari jendela besar yang menggantikan tembok di belakang kasur raksasa Sama menyambut keduanya. Tanpa menimbulkan suara, gadis itu berjalan mendekati kasurnya. Tubuh Trista diletakkan Samara perlahan di atas tempat tidur.
Gadis bertubuh tinggi itu kini beranjak menuju lemari besar yang terletak di pojok kanan kamar menghadap tempat tidurnya. Ia membuka salah satu pintu dari lemari yang menempel pada dinding itu, tumpukan pakaian dengan warna yang beragam menyambutnya. Samara mengambil salah satu piyama yang diberikan oleh Marina padanya keluar dari lemarinya.

Kemudian Samara kembali menghampiri Trista yang tampak sudah nyaman di tempat tidurnya untuk mengganti pakaian gadis itu. Mengganti pakaian yang mabuk itu adalah salah satu pertolongan yang harus diberikan—Marina yang mengatakan hal itu. Samara tampak sama sekali tak kesulitan melakukannya karena tak jarang ia membantu Marina yang terlalu banyak minum vodka menukar pakaiannya.

Trista hanya menggumam dalam tidurnya selama Samara melepas celana jeans ketat yang dikenakannya itu, mengganti jaket tebalnya dengan piyama berbahan lembut itu. Setelah selesai mengganti pakaiannya, Samara memerbaiki posisi tubuh tidur Trista. Membawa gadis itu sedikit ke tengah agar ketika ia berguling tidak terjatuh dari atas kasur.

The Princess Who Could Not SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang