Secerah apapun pagi, belum tentu hal baik pasti terjadi. Seperti yang dialami oleh sekelompok pelayan di sebuah rumah megah bak istana yang berdiri mendominasi kawasan kota. Pagi itu, masa depan mereka dipertaruhkan. Menikmati sisa umur dengan bayaran tinggi karena mampu bekerja kompeten, atau bersiap mengais nasi basi lantaran dipecat, gara-gara mengerjakan hal yang menurut majikan tidak berarti.
Di sela nafasnya yang memburu, salah satu pelayan dengan tompel di pipi kiri berseru. "Cepat panggil Nona Muda! Nanti kita bisa kena semprot Nyonya Virenka yang beracun kayak baigon lagi!"
"Duh, jangan saya, deh. Saya takut ngomong sama Nona. Lagian kan saya tadi udah nyiapin gaunnya. Sekarang giliran yang lain, dong," tolak pelayan lain dengan tompel di pipi kanan.
Pelayan dengan tompel di dahi pun menolak. "Saya juga nggak mau, ah. Menurut pengalaman saya setelah tiga tahun kerja di sini, Nona Muda itu anti sama pembantu yang ngetok pintu. Trauma saya! Pernah dilempar meja gara-gara ganggu tidurnya."
"Buset, ngeri amat!"
Naira, sang manajer pelayan sekaligus pengasuh Nona Muda tiba-tiba datang dengan ekspresi bangga. "Kalian ini gimana, sih? Sebagai pelayan elite harus bekerja dengan profesional, dong! Kayak saya nih, lho. Berani mengambil risiko, walaupun akhirnya mati! 'Hidup untuk melayani, dan melayani untuk hidup'--itu motto pelayan yang kerja di sini, kalian udah lupa? Dasar anak muda jaman sekarang, pikunan!"
Si Tompel pipi kanan, tompel pipi kiri, dan tompel dahi menunduk takut. Masalahnya, Naira ini adalah pelayan senior yang sudah lama bekerja di kandang singa tersebut. Maka dari itu, tidak ada yang berani membantah ucapannya. Jika mereka berani membantah, bisa-bisa Naira langsung mengadu pada Si Majikan tukang semprot itu. Alhasil, mereka akhirnya dipecat gara-gara melenceng dari motto 'Hidup untuk melayani, dan melayani untuk hidup' yang sudah ada sejak jaman manusia mirip kera.
"Saya peringatkan lagi, ini hari penting Nyonya Virenka. Kalian jangan mengacaukannya, paham?" lanjut Naira dibalas dengan anggukan kepala tiga juniornya.
Setelah tiga manusia tompel itu berdiskusi, berakhirlah Si Tompel Dahi yang dikorbankan--berdasarkan hompimpa. Terpaksa, Si Tompel Dahi menyeret kakinya menuju ke kamar Sang Nona Muda dengan mode getar alias gemetar.
Tok tok tok...
Dari dalam kamar, Sabrin Albina menoleh hingga iris kelabunya bertemu cahaya, membentuk pantulan bias serupa berlian. "Apa?"
"N-nyonya Virenka s-sudah menunggu di bawah, Nona," ucap Si Pelayan dari luar.
Sabina melakukan rolling eyes, malas. "Emang kenapa kalau Nyai Blorong udah nunggu? Terserah gue, dong mau turun kapan!" Nyai Blorong yang gadis itu maksud adalah Nyonya Virenka, ibu tirinya.
Cklek.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamar dari luar. Bina langsung berancang-ancang. Begitu batang hidung Naira yang terlihat, gadis itu menghela nafas. "Kenapa Nona?" tanya Naira heran.
"Nggak pa-pa. Kirain tadi yang buka pintu Si Tompel Dahi. Soalnya kalau iya mau gue lemparin meja."
"Dia barusan dipanggil sama Nyonya Besar."
Sabina kembali berdiri tegak di depan cermin full body. Mematut tubuh porselennya yang berbalut busana elegan. Sapaan esok dari sang mentari menembus kaca jendela, menyorot puncak rambut emasnya yang digerai, jatuh nyaris menyentuh mata kaki.
Dipilinnya sejumput rambut sambil mengamati wajahnya dengan lebih teliti. Tampak menawan bagai pahatan dewi, begitu pula dengan lekuk tubuh rampingnya. Kaum Adam pasti tidak akan tahan melihat ini, sedangkan kaum Hawa harus mundur perlahan sebelum timbul rasa dengki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maskulinable (TAMAT)
RomanceVERSI LENGKAP DI KARYAKARSA You are the most beautiful boy I have ever seen -- He(s) Demi mencari kakaknya, Sabina harus menyamar menjadi laki-laki dan hidup di kandang singa. Tentu bukan hal mudah baginya, menutupi sisi feminim yang sebelumnya berg...