"Sial!" umpat Reon kesal, menendang ban mobilnya sambil berkacak pinggang.
Ali berdiri di sampingnya meletakkan tangannya di masing-masing bahu Reon berusaha menetralkan amarah sahabatnya itu. "Kamu harus sabar, Reon. Tenang, tidak boleh terbawa emosi."
Bayangan beberapa malam lalu saat Darenzo bersama Leopard datang membawa masalah benar-benar membuat Reon naik pitam.
Dihembuskanlah karbondioksida beberapa kali melewati mulut, menormalkan pernafasan yang sedari tadi tersengal karena emosinya sendiri. Untuk ketiga kalinya Reon kembali mengusap wajahnya kasar. Keringat pun menetes dari ujung poninya kemudian terjatuh ke bawah.
Ali tidak menyangka sahabatnya ini sebegitu bencinya terhadap Daren, sosok laki-laki berandal yang dengan santainya masuk ke dalam rumah--dimana rumah itu adalah tempat tinggal Dathan, adik kandung Ali, yang sudah bertahun-tahun menghilang.
"Al, Darenzo jelas-jelas datang ke rumah itu pasti ada maunya. Lo kagak tau dia sekejam apa."
Ali meletakkan tangannya di bahu Reon. "Reon, tenangkanlah pikiran kamu terlebih dahulu. Saya kakaknya, saya lebih tahu bagaimana adik saya," Ali menunduk sejenak sebelum kembali menatap sahabatnya, "dan dia...tidak selemah yang kamu kira," lanjutnya tampak ragu.
Alis Reon mengerut. Antara percaya namun sedikit curiga. "Oke. Kali ini terserah lo. Gue gak peduli apa hubungan Daren sama adek lo ini. Yang jelas gue udah mengingatkan."
"Iya, Reon. Dari awal saya sudah tahu apa tujuan rencana kita sekarang. Untuk hubungan antara Daren dan Dathan bisa saya tanyakan setelah kami bertemu."
Keduanya memutuskan meninggalkan tempat itu. Tempat yang biasa dipergunakan oleh Reon dan Ali untuk mengintai sebuah rumah. Rumah tempat Dathan tinggal yang mana terdapat penjagaan lebih ketat dari penjara. Rumah megah yang terkenal sebagai istananya para bangsawan kerajaan besar di masa lalu.
Sebelum memasuki mobil, Ali tampak mengamati rumah besar itu sekali lagi--dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. Cukup lama sampai Reon harus menyadarkannya. "Ngapain masih liatin rumahnya, Al? Ayo balik asrama."
"Maaf Reon membuat kamu menunggu. Saya masuk sekarang."
Dalam hati Reon Aldebara bergumam, aneh banget anak ini, kayak ada yang dia sembunyikan dari gue.
***
Ini hari ke empat.
Sejak malam kemarin Oliver sudah mendapatkan kasurnya sendiri. Penghuni lama kamar 07 selain Jeremy, Ali, dan Alan memberinya pandangan bengis karena tidak rela babu mereka tidur di kasur baru. Sayangnya, Oliver kurang cepat menyadari dirinya datang bulan hari itu juga. Pagi tadi pun Nona Muda langsung disibukkan dengan bercak merah yang kini terbatik di kasur barunya. Ironis sekali.
Oliver cepat-cepat menutupinya dengan sprai baru sebelum para wejangan sinting itu bangkit dari kematian mereka sepanjang malam. Pantas saja sejak kemarin Oliver bawaannya ingin marah-marah terus. Ternyata ini alasannya.
Lebih menyebalkannya lagi, Rian tidak henti-hentinya bercerita mengenai make up sejak jam pertama pelajaran hingga jam istirahat sekarang.
"Ence ada lipstick bawru bok! Livc-Livc nanti nyowbain yach?" Seperti biasa, Rian mengedipkan sebelah matanya. Untung dia tidak melakukannya berkali-kali secara berturut-turut atau kalau iya Oliver pasti akan menduga Rian terjangkit epilepsi.
Sambil menyantap sandwich-nya Liver menyahutnya dengan 'hm', 'hm', dan 'hm' tiap kali Rian mengedipkan sebelah mata. Yah, Oliv sudah hafal betul kapan Rian akan melakukan gerakan epilepsi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maskulinable (TAMAT)
RomanceVERSI LENGKAP DI KARYAKARSA You are the most beautiful boy I have ever seen -- He(s) Demi mencari kakaknya, Sabina harus menyamar menjadi laki-laki dan hidup di kandang singa. Tentu bukan hal mudah baginya, menutupi sisi feminim yang sebelumnya berg...