"Hah? Satu kamar?!" Mereka bertanya serentak dengan mata membulat, kecuali Alan.
"Iya satu kamar. Kenapa emang? Masalah?" tanya Pak Herman santai di ruang kepala sekolah begitu mereka telah dikumpulkan dalam ruangan tersebut.
"Iya, masalah," sahut Jeremy cepat membuat semua mata menoleh ke arahnya.
"Apa masalahnya, Jerem?"
"Masalahnya,..." Jery memutar bola mata mencari alasan yang sekiranya tepat. Dan, gagal. Dia tidak bisa beralasan dan hanya mampu menghela nafas panjang, "Masalahnya, dia nggak boleh satu kamar sama kami, Pak," lanjutnya terlihat putus asa.
Pak Herman tertawa renyah karena alasan konyol yang Jery berikan. Tiga detik berikutnya, ekspresi pria itu berubah garang, "Pokoknya Oliver Diartaga akan satu kamar sama kalian. Titik!"
Bullshit. Dalam hati Reon mengumpat. Sejak pertama kali melihat Oliver, dia sudah membencinya. Kali ini, Pak Herman dengan semena-mena memasukkan laki-laki cebol itu berada di kamar yang sama dengannya. Kutukan macam apa ini?!
"Kalian semua keluar," perintah Pak Herman kemudian disusul siswanya keluar ruangan satu persatu. "Kecuali Oliper," lanjutnya membuat mereka berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, tepat ke arah Oliver yang tadinya hendak keluar.
Sial. Gue lagi, gue lagi. Oliv menggeram pelan sebelum mengembalikan ekspresi sopannya menghadap Pak Herman yang bangkit berdiri dan berjalan mengelilingi Oliver setelah ketujuh siswa lain menutup pintu. Pria setengah baya itu mengaitkan kedua tangannya di belakang punggung sambil berjalan dan memperhatikan penampilan Oliver sekilas dari atas sampai bawah, membuat kaki lelaki itu semakin menggigil dan berkeringat dingin. Tetapi Oliv menutupi gerak-gerik anehnya dengan tetap berdiri tegak.
"Mulai malam ini kamu satu kamar dengan mereka sampai seterusnya. Mengerti?"
"T-tapi, Pak-," Oliv hendak menolak tapi Pak Herman lebih cepat memotong kalimatnya.
"Nggak ada tapi-tapian," ujar Pak Herman tegas, membuat perempuan yang menyamar menjadi laki-laki tersebut menggigit bibir bawahnya gelisah. Pak Herman kemudian berdiri memunggungi Oliv, mengamati piagam-piagam penghargaan yang tertempel rapi disalah satu sisi dinding ruangan. "Oliper?" panggilnya tanpa menoleh.
Oliver tersentak dan segera menegakkan punggung. "Y-ya, Pak?"
"Apa kamu tidak sanggup menjalani tugas dari saya?"
"Hah?" Oliv mengerutkan kening tidak mengerti. Semenjak tragedi gagal pembullyan berujung perkelahian tidak jelas di toilet, ia jadi kurang fokus.
Pak Herman membalik badan lalu menjelaskan dengan tenang. "Anggap saja ini semacam Masa Orientasi Siswa dari saya. Dan tugasmu adalah mengendalikan sikap mereka menjadi manusia yang lebih baik dan bermoral. Selama ini saya kesulitan mengurus siswa didik macam mereka," jelasnya. Beberapa detik setelah itu, Pak Herman bergidik ngeri disertai kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan sedang mengingat kenangan buruk yang menghantuinya hingga sekarang. "Mereka itu seakan monster yang telah merenggut kebahagiaan saya. Saya mohon kamu mau membantu saya. Kamu boleh meminta apapun asalkan kamu bisa memperbaiki akhlak para preman itu."
Mereka bukan preman, tapi siluman, sungut Oliver dalam hati. Dia mendesah lalu memandang Pak Herman lebih serius daripada sebelumnya. "Pak Herman, kenapa Anda yakin saya bisa merubah mereka?"
Pak Herman kembali duduk di kursi kerjanya dan tersenyum simpul. "Karena matamu mengatakan, hatimu memilikinya."
"Memiliki apa?"
"Keberanian."
Ceileh, sok puitis amat nih orang tua. Bau tanah baru tau rasa. Oliver tertawa hambar lalu berucap seraya mengedikkan bahu, "Saya nggak merasa seperti itu, Pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Maskulinable (TAMAT)
RomanceVERSI LENGKAP DI KARYAKARSA You are the most beautiful boy I have ever seen -- He(s) Demi mencari kakaknya, Sabina harus menyamar menjadi laki-laki dan hidup di kandang singa. Tentu bukan hal mudah baginya, menutupi sisi feminim yang sebelumnya berg...