Part 1 | Dia Kembali

522 64 0
                                    

Author's pov

Siang ini, seorang wanita nampak membantu para pegawainya yang sedang melayani pelanggan di kafe. Ia memang pemilik kafe tersebut, tapi walaupun begitu ia tidak mau berdiam diri saja di ruangannya. Sesekali ia juga turut melayani para pelanggan setia kafenya.

Wanita itu nampak ceria di balik meja kasir. Ia menyapa pelanggan dengan senyum manisnya, tak lupa menanyakan pesanan apa yang diinginkan setiap pelanggannya. Siang ini kafe itu nampak ramai dipenuhi pelanggan, karena memang sudah saatnya memasuki jam makan siang.

Seorang pria berjas, nampak elegan melangkah dengan pasti menuju meja kasir. Ia juga turut mengantri seperti pelanggan lainnya. Kacamata minus nampak bertengger ria di hidungnya yang mancung bak mainan prosotan yang biasa ada di taman.

Saat gilirannya, senyum wanita pemilik kafe menyambutnya. Manis, itulah kesan awal yang ia tangkap dari wujud rupawan wanita itu. Ada sesuatu yang menggelitik di dalam hatinya. Mungkinkah dia orang yang pernah ia kenal sebelumnya? Pertanyaan tersebut mulai terngiang di benaknya.

Sedangkan wanita si pemilik kafe memasang raut wajah kagetnya. Ia tak menyangka jika akan bertemu kembali dengan pria ini. Cinta pertamanya telah kembali.

Sesaat kemudian, teguran dari orang yang mengantri dibelakang pria tersebut mulai menyadarkan keduanya. Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk mengantri lebih lama lagi. Secepat mungkin wanita itu merubah mimik wajah menjadi tersenyum kembali dan mulai melayani pelanggan 'tercintanya' itu.

"Selamat siang. Mau pesan apa?"

"Secangkir cappuccino."

Walau sang pria sedikit ragu dan memiliki banyak pertanyaan yang ingin ia ungkapkan saat ini, tapi itu semua ia tahan dan langsung menjawab sapaan wanita tersebut dengan singkat, padat, dan jelas. Tak lupa dengan wajah datar yang biasa ia tunjukkan dulu ketika mereka sering dipertemukan.

Wanita itu tahu jika ini akan terjadi. Sudah pasti itu dia, karena dirinya tak akan salah orang lagi. Ia semakin yakin ketika dirinya melihat respon yang diberikan pria itu. Walaupun begitu dia tetap harus bersikap profesional karena banyak pelanggan di depannya yang sedang menanti.

"Baik pesanan anda saya catat, totalnya adalah 5.000 won."

Pria itu masih tanpa ekspresi dan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, langsung memberikan uang dengan sejumlah nominal yang telah disebutkan.

"Uangnya 5.000 won saya terima ya. Ini bukti pembayarannya. Silahkan tunggu sebentar. Terima kasih, silahkan datang kembali."

Wanita itu mengakhiri kalimatnya dengan senyuman. Tak lupa ia juga menyerahkan bukti pembayaran kepada pria.

Segera saja ia berlari ke dapur untuk membuatkan pesanan yang diminta, tapi sebelum itu dia menyuruh Yeori untuk menggantikan dirinya di meja kasir. Yeori memang tak terlalu ambil pusing, karena ini perintah dari bosnya.

Wanita si pemilik kafe telah sampai di dapur. Ia berhenti sebentar sambil mengusap kedua pipinya yang merona. Sebelum akhirnya ia membuatkan pesanan untuk pelanggan 'tercintanya' itu.

***

Yuna's pov

Ah! Bagaimana ini? Pipiku merona saat kembali bertatap dangan wajahnya. Ia sama sekali tidak berubah. Hanya saja sekarang dirinya lebih tampan serta kacamata itu semakin membuatnya tampan.

Tidak, Yuna! Kau harus sadar. Ya, kau harus sadar! Sekarang apa yang harus aku lakukan? Oh ya, aku akan membuatkan pesanan yang ia minta. Baiklah Choi Yuna kerahkan semua kemampuanmu. Tunjukkan bahwa kau bisa membuat kopi terbaik untuknya.

Bicara tentang kopi, aku seakan pergi ke kenangan pada masa itu. Di mana aku mulai mencintainya hanya karena sebuah secangkir kopi. Beberapa menit kemudian, cappuccino yang dia pesan telah berhasil kubuat. Tinggal mengantarkannya saja, tapi aku malu berhadapan langsung lagi dengannya.

Saat aku memikirkan cara yang tepat untuk mengantarkan cappuccino ini, Seungkwan dengan pedenya melenggang cantik di depanku. Baik, aku punya ide bagus.

"Seungkwan! Kau tolong antarkan pesanan ini ke meja paling ujung di sana ya," kataku sambil menunjuk meja yang kumaksud.

"Baik, Bu."

"Bentar! Jangan lupa untuk memastikan bahwa ia menerima cappuccino itu dan meminumnya," ucapku secara antusias.

Seungkwan nampak bertanya-tanya, mengapa aku kali ini menyuruhnya mengantarkan pesanan memperingati sampai segitunya? Maksudku memang hal yang biasa jika Seungkwan disuruh untuk mengantarkan pesanan ke pelanggan, tapi ia tidak pernah disuruh olehku untuk memastikan si pelanggan menikmati pesanannya.

Ketika aku menyadari ucapanku barusan terdengar aneh di telinganya, maka dari itu aku langsung mendorongnya maju. Lalu berbisik agar melupakan apa yang aku katakan tadi tanpa harus banyak tanya.

Aku memperhatikan Seungkwan yang menyerahkan secangkir cappuccino kepada pria itu. Sesaat setelahnya, ia menyeruput cappuccino tersebut dan kemudian dia tersenyum tipis.

Tunggu, apa yang aku katakan tadi? Ia tersenyum? Ia menyukainya? Terimakasih Tuhan, akhirnya aku bisa melihat senyumannya kembali.

***

Seokmin's pov

Siang ini aku merasa penat, karena pekerjaanku sebagai presdir di perusahaan elektronik terkenal di Korea. Bukannya banyak mengeluh, tapi memang kau pasti akan paham seberat apa tugas dan kewajiban dari jabatan ini. Maka dari itu aku memutuskan untuk keluar menikmati waktu istirahat siangku. Saat aku melewati sebuah kafe yang tidak jauh dari kantorku, aku merasa tertarik untuk singgah sejenak. Sepertinya secangkir cappuccino akan menghilangkan rasa penatku.

Aku pun memutuskan untuk memarkirkan mobilku tepat di depan kafe ini. Saat aku memasuki kafe, aku merasa tempat ini cukup unik. Terbukti dari desain interior minimalis yang didominasi dengan cat coklat dan putih sehingga terkesan elegan di mata siapa saja yang memandangnya.

Saat aku sampai di depan meja kasir, aku disuguhi antrian yang cukup panjang. Sepertinya kafe ini akan selalu ramai dikunjungi ketika jam istirahat. Saat giliranku tiba, aku tertegun dengan orang yang kulihat di hadapanku saat ini. Dia bukannya wanita yang aku cari selama ini.

"Selamat siang. Mau pesan apa?" sapanya ramah. Sepertinya dia ingin bersikap profesional sekarang.

"Secangkir cappuccino," jawabku datar. Bukan maksudku untuk tidak ingin membalas sikap ramahnya yang memang sudah ia miliki sejak dulu, tapi aku memang sengaja melakukan ini agar ia tetap mengingatku kembali.

"Baik pesanan anda saja catat. Totalnya adalah 5.000 won."

Tanpa berkata apapun, aku langsung menyerahkan uang dengan sejumlah nominal yang ia katakan tadi.

"Uangnya 5.000 won saya terima ya. Ini bukti pembayarannya. Silahkan tunggu sebentar. Terima kasih, silahkan datang kembali."

Setelah urusanku selesai di meja kasir, aku bergegas untuk duduk di salah satu meja kafe ini. Sengaja memilih tempat yang paling ujung karena aku memang selalu nyaman berada di sini. Selama perjalanan menuju meja, aku menyunggingkan senyum miring dan menggumamkan sesuatu.

"Akting yang bagus."

***

Sambil menunggu pesananku tiba, aku memperhatikan setiap sudut kafe ini. Apa benar kafe ini milikmu? Kalau memang iya, maka kau telah berhasil membangun impianmu menjadi kenyataan.

Beberapa saat kemudian, pesananku datang. Aroma cappuccino menyeruak ke dalam indera penciuman. Tanpa basa-basi, aku langsung menyeruput cappuccino itu. Dapat aku rasakan enaknya cappuccino ini hingga membawaku pada ingatan di masa itu.

"Aku tahu bahwa itu kau.. Choi YuNa," gumamku dengan senyuman tipis.

=TBC=


Rahasia Secangkir Kopi | Dokyeom SeventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang