TWENTY SIX

969 130 9
                                    

Satu.
Dua.
Tiga.

Semua akan baik-baik saja.

Yerin menghela nafasnya dengan berat. Tangannya menarik koper besar berwarna biru miliknya, agar lebih dekat dengan dirinya sendiri. Ia memandang sekeliling kamar Sora sebentar dengan sendu.

Gadis pemilik kamar ini, masih terlelap nyaman di alam mimpinya.

Kemarin, hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan untuk mereka berdua. Acara Seoul Fashion Week kemarin, berjalan dengan sangat lancar. Karena itulah, sangking menyenangkan dan melelahkannya, mereka berdua baru sampai di rumah Sora sekitar tengah malam.

Tidak seperti Sora yang masih menikmati tidurnya, Yerin sudah terbangun sejak satu jam yang lalu. Menyiapkan barang-barangnya dan mempersiapkan dirinya untuk pergi dari rumah Sora. Padahal jam di dinding kamar Sora ini, juga belum menunjukan pukul enam pagi.

Suara panggilan telepon dari ponselnya, tiba-tiba meng-interupsi Yerin cepat. Gadis itu dengan segera meraih ponselnya yang berada di dalam kantung celana jeans miliknya, untuk melihat siapa yang menghubunginya sepagi ini.

Park Yuri.

Yerin menghela nafasnya lagi. Sedikit ragu untuk menjawab panggilan dari ibunya tersebut. Egonya mengatakan tidak. Tapi entah mengapa, akal sehatnya kali ini mengatakan 'ya' untuk panggilan dari ibunya ini.

Nafasnya terhela kembali. Dering teleponnya tak kunjung berhenti sedari tadi. Ia mendongakan kepalanya ke atas. Menahan perasaannya yang tiba-tiba terasa berat sekarang ini.

Kali ini, akal sehatnya lah yang kembali menang lagi. Ibu jarinya menekan tanda hijau untuk mengangkat panggilan dari ibunya itu.

"Halo." Suara Yerin sedikit bergetar. Entah mengapa.

"Halo, Yerin sayang. Kamu sudah bangun?" Yuri terdengar sangat ceria di seberang sana. Lagi-lagi, perasaan Yerin kembali tertekan dan terbebani.

Yerin diam. Tidak menjawab.

"Kamu mau sarapan pagi bersama kami pagi ini, sayang?"

"Tidak." Yerin kelewat cepat menjawabnya. Ia langsung menolak ajakan ibunya tersebut tanpa berpikir apapun.

"Kenapa, sayang? Anggap saja ini sarapan pagi terakhir sebelum kamu berangkat ke Jepang." Ada nada kecewa pada kata-kata yang di lontarkan oleh Yuri. Tapi entah mengapa, kata-kata yang keluar dari mulut Yuri lah yang membuat Yerin menjadi marah dan lebih kecewa.

Rupanya, ayahnya sudah memberitahu segalanya.

Rupanya, tidak ada juga yang berubah dari mereka semua.

Benar, mereka akan senang saat Yerin akan pergi.

Yerin mendongakan kepalanya lagi. Menahan air matanya agar tidak jatuh menampar pipinya. Untuk pertama kalinya, ia ingin menangis mendengar apa perkataan ibunya. Untuk kedua kalinya, ia merasa sekecewa ini dengan ibunya.

"Yerin? Yerin? Kamu mau kan, sayang?" Yuri menanyakan lagi. Nada berharap begitu kentara sekali disetiap suku kata yang terucap.

"Tidak."

Kembali Yerin menolak. Kali ini, ibu jarinya juga dengan cepat langsung menekan tanda merah pada layar ponselnya.

Ia ingin mengakhiri segalanya.

Yerin menghembuskan nafasnya. Mencoba menenangkan dirinya yang menjadi terbebani seperti ini. Perasaannya sangat terbebani entah karena apa. Begitu juga dengan matanya yang sama terbebaninya oleh air-air emosional miliknya sendiri.

FINE | KTH ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang