01

2K 102 5
                                    




"Git cepetan sih larinya, keburu telat
tau!" seru lelaki kecil berbaju merah pada anak perempuan manis berpita biru dihadapannya.

"Sabar dong, ga usah pake lari. Mereka juga paling masih dirumah Bima." dengus gadis kecil itu seraya menyedot susu cokelat kesukaannya.

Ia berusaha menjajari langkah anak lelaki didepannya.

Hari ini mereka sudah janjian untuk bermain pasir di taman komplek.

Shaka, nama lelaki kecil itu, menatap Githa dengan tidak sabar. Ia pun menarik tangan gadis itu dan menariknya untuk berjalan cepat.

Githa metapa Shaka dengan sebal.

"Jalan nya ga usah cepat-cepat Shak. Nanti kita jatuh."

"Habis kamu ga mau lari, yaudah jalan cepat aja." Balas Shaka cuek, dan mempercepat langkahnya, tapi tiba-tiba.

"BRUKK!" Shaka tak sengaja menginjak tali sepatu Githa dan mereka berdua pun jatuh ke aspal.

Tak pelak keduanya menangis. Padahal rumah Bima sudah tinggal sedikit lagi didepan mereka.

Githa menangis tersedu sambil melihat lututnya yang berdarah dan roknya yang sedikit sobek.

Tangisnya semakin keras tatkala melihat susu cokelat kesukaannya telah berceceran di aspal yang kotor.

Shaka yang awalnya ikut menangis karena sikunya terasa perih merasa kasihan melihat Githa.

Dia yang memang tak sabaran akhirnya membuat mereka berdua jatuh.

Ia menyeka airmata di pipinya, dan membantu Githa untuk berdiri.

"Sakit ya Git? Maafin Shaka ya? Nanti lukanya kita minta Tante Irna bersihin." ucapnya pelan.

Walaupun tetap menangis, tapi Githa mengangguk dan meraih tangan Shaka.

Dan kedua anak berusia 5 tahun itu, berjalan perlahan kerumah putih tak jauh dari jalan mereka sambil bergandengan tangan.




*




"Astaga Githa, Shaka, kalian kenapa kok keliatan abis nangis?" Perempuan paruh baya itu sangat terkejut melihat kedua anak dihadapannya.

Mata mereka merah seperti habis menangis.

Ia melihat lutut Githa yang merah dan mengeluarkan sedikit darah. Sepertinya dia agak paham apa yang telah terjadi.

"Githa jatuh ya? Sini masuk dulu. Bima ada diatas sama Azka. Shaka naik aja, nanti Githa biar tante obatin dulu lukanya."

Shaka mengangguk cepat dan segera berlari menuju kamar sahabatnya itu.

Githa menyeka sisa air mata di pipinya, dan duduk di sofa menunggu Tante Irna mengambil kotak P3K.

"Jatuh dimana Githa?" tanya wanita itu lembut, seraya membersihkan luka Githa dari pasir.

"Didepan sana Tante, ga jauh dari sini. Habis Shaka mau jalan cepet padahal kan rumah Bima deket." gerutu Githa, sambil meringis menahan sakit.

Tante Irna tersenyum dan menempelkan perekat pada lutut Githa. "Nah udah, semoga cepat sembuh lukanya. Jangan nangis lagi ya cantik"

Githa tersenyum, dan meraih tangan Tante Irna yang mau beranjak,

"Tante, tolong obatin Shaka juga ya. Sikunya lecet." ucap bibir mungil itu.

Tante Irna tampak terkejut, ia sama sekali tidak melihat luka di siku Shaka karena fokus pada lutut Githa yang berdarah.

"Githa panggilin dulu Shaka diatas ya." seru gadis kecil itu, lalu bangkit menuju tangga sambil tertatih diiringi senyum geli Tante Irna.




*




"Ih Azka ambil cokelatnya paling banyak. Kan janjinya bagi rata!" teriak gadis kecil sambil mencubit lengan anak lelaki berambut cokelat gelap disampingnya.

Setelah dua hari, barulah keempat sahabat kecil itu bisa bermain pasir di taman kompleks.

Dan sebelum kesana, mereka sudah patungan untuk membeli cokelat di warung Pak Samin dekat taman itu.

"Aduh, sakit banget Git!" dengus Azka mengusap tangannya yang baru saja dicubit.

"Bagi rata Ka." Bima meraih kresek yang dipegang Azka dan mengajak mereka duduk di bawah pohon beringin yang ada di taman.

Dengan cepat ia membagi cokelat itu kepada ketiga temannya, Githa, Azka, dan Shaka.

"Ini baru adil," tukas Githa penuh kemenangan kepada anak bandel itu.

Mereka berempat tertawa sambil mengulum permen cokelat itu.

"Lutut kamu gimana Git?" tanya Shaka tiba-tiba.

Githa menunjuk kearah lututnya yang sudah tidak diplester, lukanya mulai mengering. "Udah mau sembuh nih," pamernya sambil tersenyum lebar.

"Uhuk, uhuk!" karena terlalu semangat Githa tersedak.

Dengan cepat Bima mengeluarkan botol minum dari ranselnya dan menyerahkan ke Githa.

Gadis itu langsung meminumnya, "Makasih Bima"

"Rasain kamu," cibir Azka dengan seringai bandel, rupanya masih dendam karena tadi dicubit.

Githa sudah siap akan mencubit Azka, tapi lelaki itu lebih gesit dan berlari kearah kolam pasir.

Malang, ia tersandung pinggiran kolam dan jatuh terjerembab. Untung jatuhnya di atas pasir yang lembut.

Teman-temannya pun tertawa melihat kebodohan Azka.

Tapi bukannya bangun, Azka malah berguling-guling di pasir sehingga bajunya kotor semua penuh pasir. Ketiga anak lainnya malah jadi tertarik ingin bergulingan seperti Azka.

Mereka pun berhambur ke kolam pasir dan bermain dengan riang, sampai lupa waktu.

Ketika langit sudah berwarna jingga, Bima sadar bahwa sebentar lagi maghrib.

Ia pun mengajak para sahabatnya untuk pulang. Mereka pulang bergandengan tangan sambil bernyanyi riang.





*

[1] SEVENTEEN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang