08

890 75 0
                                    








"Drrtt... drrtt..." handphone Githa bergetar, dengan cepat gadis itu meraihnya dan membuka message yang masuk.

Jam tangan kamu ketinggalan di aku Git.

Dari Shaka. Kebiasaan Githa yang pelupa. Tadi kan pas kehujanan dia melepas jam tangannya itu dan menaruhnya di dashboard mobil Shaka.

Githa melirik jam dikamarnya, masih jam 8. Yaudah, ambil aja deh ke rumah Shaka, cuma disebelah ini.














*












Githa mengetuk pintu rumah putih itu dengan tidak sabar.

"Mbak Githa?"

"Eh mbok, Azka udah pulang?"

"Dari siang belum pulang, mbak Githa. Kayaknya ngeband." jawab si Mbok.

Githa mendecak kesal, "Gila si bandel, latian apaan sampe malam gini." batinnya.

"Yaudah tolong bilangin tadi Githa nyariin ya Mbok." pesan Githa, lalu berlalu menuju rumah Shaka setelah mengucapkan salam kepada simbok.

Dengan setengah berlari ia sampai dirumah Shaka dan memencet bel.

"Eh Githa, ada apa malem-malem?" tanya Tante Nara ramah.

"Ada perlu bentar sama Shaka, tante."

"Oh ada diatas, langsung aja." ujar wanita cantik itu.

Githa mengangguk dan langsung menuju kamar Shaka yang terletak di lantai 2.

"Shak!" ia mengetuk pintu, dan langsung masuk tanpa menunggu jawaban.

Shaka sedang sibuk diatas meja belajarnya yang penuh dengan piala olahraga dan olimpiade. Selain jago basket, cowok cuek ini juga pinter matematika dan fisika.

Diantara mereka berempat memang Shaka dan Azka yang di IPA, sedangkan Githa dan Bima di IPS.

"Shak!" panggil gadis itu lagi, astaga ternyata si Shaka lagi dengerin musik pake headseat.

"Yee pantesan dipanggilin ga nyaut." Githa menarik headset ditelinga Shaka.

"Anjir! Git! Ngagetin tau ga!" umpat cowok itu kesal, Githa tertawa ngakak.

Jarang-jarang dia ngeliat Shaka seekspresif ini. Berarti dia harus sering-sering gangguin Shaka.

"Mana jam aku?" todong Githa cuek.

Ia berkeliling kamar Shaka. Ga berubah, tetap sederhana tanpa banyak hiasan. Ia melirik ke wadah bulat berisi kumpulan kertas-kertas kecil dengan tulisan acak-acakan.

Di atas wadah itu tertempel kertas bertuliskan "Surat Azka". Hal tersebut membuat Githa mau tak mau tersenyum.

Shaka meletakkan pensilnya. Dan bangkit menuju rak tv, kalo tidak salah tadi ia menaruh jam Githa disana.

"Nih. Pulang sana udah malem." usir cowok itu halus. Alasan aja tuh, sebenernya dia paling ga suka diganggu saat belajar.

Githa mencibir, ia memakai jam tangan itu dan berjalan kearah pintu.

"Ya udah pulang ya, Shak. See you tomorrow!"

"Ya." jawab Shaka tanpa menoleh.

Setelah Githa menutup pintu, cowok itu tersentak, ia sadar kalo tadi Githa kesini hanya memakai celana pendek dan kaos. Kebiasaan Githa malem-malem ga pake jaket.

Dengan cepat ia membuka lemarinya dan menarik selembar jaket sehingga baju-baju yg lain jadi berhamburan dan berantakan.

"Ckk." decaknya kesal, lalu segera berlari kebawah. Tapi Githa sudah tidak ada, ia keluar rumah dan menatap kosong jalanan.

"Cepet banget sih tuh cewek larinya." gerutu cowok itu.

Lalu ia sadar kecemasannya malam ini agak sedikit berlebihan, toh rumah Githa cuma disebelah rumahnya.

Shaka menghela nafas dan masuk kedalam rumah.













*
















"Astaga dek, badan kamu panas banget. Pasti gara-gara kemaren keujanan ya." Mama Githa kaget melihat termometer, suhu badan Githa pagi ini hampir 39 derajat celcius.

Githa tidak menjawab, kepalanya saat ini sangat pusing, ia merasa kedinginan, tapi juga berkeringat, pokoknya ga nyaman.

Dia nyesel ujan-ujanan lama di pos satpam. Aturan dia nunggunya di koridor kelas aja. Tapi kemarin sore itu koridor keliatan serem banget.

"Ya udah, hari ini absen dulu. Nanti mama titip surat ke Azka atau Shaka." Mama pun meninggalkan Githa untuk istirahat.

Gadis itu memejamkan matanya, mencoba untuk tertidur kembali.

Pukul dua lewat Githa baru terbangun, ia membuka mata dan mencoba untuk bangun, tapi kepalanya masih pusing.

"Ga usah dipaksain bangun Git." ternyata Bima udah ada disamping tempat tidurnya.

"Hei, udah lama Bim?" sapa Githa lemah.

Bima tidak menjawab, ia memegang dahi Githa. Udah mendingan.

"Aku ambilin makan ya. Udah ga begitu panas kok badan kamu." Bima beranjak dan pergi.

Tak lama Bima muncul dengan bubur dan air putih. Ia membantu Githa duduk dengan bersandar pada dua bantal.

"Bim... kamu kan tau aku gasuka bubur. Yuck.." protes Githa.

Bima tampak tidak peduli ia menyodorkan sendok berisi bubur kearah mulut Githa.

Dengan terpaksa gadis itu menelannya tanpa berusaha merasakannya. Ih lembek, batinnya.

"Kamu tuh ya Git, udah bikin aku cemas. Tiba-tiba sakit." akhirnya Bima angkat bicara. Ia kembali menyodorkan bubur itu.

Githa meringis, "Yah masa aku ga boleh sakit Bim. Maaf deh udah bikin kamu cemas."

Bima menghela nafas, dan menatap Githa tepat dimanik matanya. "Kalo ada apa-apa tuh bilang. Kalo telat pulang, dan keujanan kan bisa telfon aku."

"Maaf Bim, aku kira kamu sibuk rapat osis, lagian panitia kan lagi sibuk-sibuknya." Githa menunduk, entah kenapa ia gugup ditatap Bima seperti itu.

"Git, sesibuk apapun, kalo kamu butuh aku pasti usahain. Janji kalo butuh apa-apa jangan sungkan bilang ke aku." ucapan cowok itu membuat muka Githa seketika memerah.

Apalagi saat Bima menggenggam tangannya erat.


















*    

[1] SEVENTEEN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang