Keesokan siangnya Githa sudah bersiap untuk pergi kerumah Marsha. Ia sudah mengabari Bima untuk menjemputnya jam setengah 4 sore.
"Dek, ada Bima nih!" terdengar teriakan kakaknya dibawah.
Githa pun segera berlari turun. "Pergi dulu abang!" pamitnya.
Diluar, Bima sudah duduk manis di mobil putih kesayangannya. Kacanya terbuka lebar.
"Cantik banget Git." pujinya.
Githa salting, dia kan cuma pake jeans dan kemeja flanel. Eh tapi hari ini bedanya, rambut hitam panjangnya dia biarkan terurai. Mumpung lagi ga disekolah.
"Dih, paan sih Bim. Biasa juga kayak gini." Githa masuk kemobil dan memasang seatbelt.
"Sering diurai aja sih rambutnya Git, bagus tau." Tuh kan, emang rambutnya yang bikin beda, pikir Githa.
"Ga ah ribet tau Bim. Gerah kalo sekolah."
Bima tersenyum, "Yaudah, mana alamat Marsha?"
Githa menghidupkan gps mobil Bima dan mereka pun berlalu.
*
Tak sampai setengah jam mereka pun sampai di rumah Marsha.
"Jemput ga Git?"
"Boleh nih?" tanya Githa ragu, takut Bima ada acara.
"Boleh lah, kayak sama siapa aja." Bima tertawa, "Lagian nanti mau sekalian pergi sama Azka."
Githa menyernyit, "Mau kemana?"
"Urusan cowok Githa sayang. Bye." Bima menutup kaca mobil, dan pergi setelah mengklakson Githa.
"Dih, dasar cowok!" gerutunya.
Ia menuju rumah Marsha dan memencet bel.
"Hai Git, masuk. Udah aku tunggu hehe," sambut Marsha, mereka pun segera menuju kekamar Marsha.
"Wah rapi banget kamar kamu Sha," puji Githa.
Kamar Marsha didominasi warna Fuschia yang memang disukai gadis itu.
Sejak dulu, Githa ga pernah bisa punya sahabat cewek, soalnya dia selalu main sama tiga sahabat kecilnya itu.
Banyaknya sih cewek yang sirik sama dia, dan kalo pun ada cewek yang mau main sama dia, pasti modus buat ngedeketin salah satu dari tiga sahabatnya. Makanya dia capek mencoba temenan sama cewek.
Tapi Marsha beda, dia pindahan dari Amerika. Lahir dan besar dinegara Paman Sam itu membuat Marsha tidak peduli dengan title cowok populer, dia blasteran jawa-amerika, sudah pasti dia sangat cantik dengan rambut pirang kecokelatan pasti mudah baginya untuk jadian dengan cowok manapun.
Dia sering gusar dengan tatapan cewek-cewek disekolah waktu ngeliat Githa dianter Azka, atau Bima ngobrol sama Githa, atau pas Githa nungguin Shaka latihan basket. Dia benci cewek-cewek yang rumpi di kelas, lapangan basket, koridor, toilet, dimana-mana pasti ada sekumpulan cewek lagi ngegosip.
Makanya dia senang berteman dengan Githa yang cuek dan cenderung masa bodo dengan omongan orang lain tentang dirinya.
Marsha enggak tau aja banyak hal yang dialami Githa sebelum mencapai titik tercueknya.
Sebaliknya, Githa pun senang berteman dengan Marsha yang cantik dan baik. Kedua orangtuanya dokter dan jarang ada dirumah, sehingga Marsha sering kesepian, makanya hari minggu ini Marsha meminta Githa bermain kerumahnya.
Githa tidak pernah melihat Marsha menatap sahabat-sahabatnya dengan pandangan memuja. Malah Marsha cenderung lebih sering menggoda Githa dengan ketiga cowok itu.
"Seriously, Ghit. Tell me something I don't know. Ga mungkin kamu ga pernah baper sama salah satu dari mereka. Atau malah ketiganya? Hahaha," tuh kan, Marsha ngegodain Githa lagi.
Githa ikut tertawa. "Kalo mau dibawa baper udah dari lama kali Sha. Tapi serius mereka tuh emang dari dulu gitu. Nganggep aku yang paling lemah diantara mereka jadi mesti dilindungi. Jadi ga ada kebawa perasaan sama semua sikap mereka. Kita udah kayak keluarga," Githa meringis geli.
"Tapi seru banget sih kalo denger cerita kamu tentang masa kecil kalian. Aku jadi pengen punya sahabat dari kecil."
Tiba-tiba hape Githa berbunyi, "Halo,"
"Woy udah mau pulang belum. Aku sama Bima udah otw. Bentar lagi nyampe. Bye." Telepon ditutup. Kebiasaan jeleknya si Azka bikin Githa pengen mencubit cowok itu sampe biru. Githa melirik jam tangannya, sudah setengah 8 malam. Lama juga dia ngobrol sama Marsha.
"Siapa Git?"
"Azka, udah otw katanya. Maaf ya Sha. Aku harus pulang, bentar lagi mereka nyampe."
"Yah yaudah deh, kapan-kapan main sini lagi ya Git, girls talk!" Marsha mengedipkan matanya, dan dibalas senyum pasrah Githa.
*
Githa merebahkan badannya di atas tempat tidur, capek banget dia. Tadi abis debat panjang sama Azka, biasa adu mulut, ejek-ejekan seperti yang biasa mereka lakukan.
Gadis itu tiba-tiba teringat kalo dia belum menyiapkan buku-buku untuk besok senin. Ia pun bangkit dan mengeluarkan isi ranselnya. Tangannya merogoh bungkusan plastik, dengan heran dia membuka plastik itu.
"Permen cokelat?" Githa sangat bingung bagaimana bisa permen cokelat itu ada di tasnya.
Ia berusaha mengingat kapan terakhir kali memeriksa tasnya.
Sabtu, saat itu ia kehilangan kunci, terus main kerumah Shaka. Lalu mereka belanja, dan ah... ia teringat kejadian didepan pagar.
Dasar Shaka.
Githa membungka satu bungkusan permen cokelat dan mengulumnya sambil tersenyum.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] SEVENTEEN ✔
Teen Fiction*BOOK ONE* [⚠ CHAPTER AKHIR DI PRIVATE] Bagi cewek-cewek di sekolahnya, Agitha itu cewek paling beruntung. Gimana enggak? Cewek tomboy itu punya tiga sahabat cowok yang jadi idola di sekolah. Mereka ga tau aja ada saatnya, Githa ingin juga di posisi...