07

930 85 0
                                    







"Nih." Azka menyodorkan gulungan kertas yang diikat pita.

Githa tersenyum dan meraih kertas itu. Ia meletakkan helmnya dan dengan cepat membuka gulungannya.

Lagi-lagi kosong.

Ia membolak balik kertas itu, benar-benar kosong melompong, hanya kertas putih biasa.

Gadis itu mendengus sebal, "Buat yang lain udah dikasih?"

"Udah kemarin malem. Kamu cepet-cepet mau pulang sih." jawab Azka.

"Kenapa sih punya aku selalu kosong, sekali-kali niat kek nulis sesuatu," protes Githa.

"Alah, bawel. Sekali-sekali jangan dibuang dong suratnya." balas cowok bandel itu.

"Kosong gini, ngapain juga disimpan!"

"Asal syarat aja sih. Yaudah mau pulang, capek mau tidur. Dah bawel." Azka menghidupkan motornya dan berlalu.

Githa menatap punggung cowok menyebalkan itu, dasar aneh!









*












Semenjak mamanya meninggal udah jadi kebiasaan Azka untuk menulis surat tiap bulan.

Awalnya ia hanya menulis surat untuk Mamanya dan ditaro di sebuah kotak yang tersimpan rapi dikamarnya. Seperti diary.

Lalu entah sejak kapan ia mulai rutin juga menulis surat untuk ketiga sahabatnya, dan terkadang Papanya.

Biasanya Papa Azka sangat senang mendapat surat dari Azka walaupun tidak serutim Azka menulis surat untuk Mama dan sahabat-sahabatnya. Alasannya sih, Azka lebih suka cerita langsung dengan Papa.

Sedangkan isi surat untuk Mamanya, tidak pernah ada yang diperbolehkan membaca karena ia menguncinya rapat-rapat di kotak keramat itu.

Surat untuk Bima biasanya berisi tentang ajakan main dan minta saran dalam belajar. Kalo untuk Shaka biasanya ia bercerita tentang game. Surat-surat itu memang singkat, hanya satu-dua paragraf, tapi membuat teman-temannya itu kecanduan menunggu surat dari Azka yang tiba-tiba mereka temukan diatas meja belajar, tempat tidur, ataupun diberikan langsung.

Tapi, anehnya sejak awal Azka memulai kebiasaan menulis suratnya, Githa selalu menerima kertas kosong yang diikat pita. Setiap ditanya, Azka pasti menjawab.

Asal syarat.

Dia juga selalu bilang masa nulis surat buat cewek, nanti dikira surat cinta. Tapi daripada cuma Githa yang ga dapat surat, yaudah dikasih kertasnya aja.

Nyebelin banget kan? Tapi tak urung membuat Githa juga selalu menunggu surat-surat aneh Azka.


















*















Sore itu hujan deras, dan Githa masih terjebak di sekolah soalnya tadi ia terpaksa harus mengerjakan tugas kelompok di sekolah.

Teman-temannya udah pada pulang, Githa diajak bareng ga mau, dia memilih menuju ke studio band sekolah berharap Azka masih ada disana. Maklum, udah dua bulan sejak cowok bandel itu resmi jadi gitaris band sekolah.

Githa menempelkan mukanya ke pintu kaca studio, tapi gelap, tidak ada tanda-tanda orang latihan.

Ia merogoh hapenya dan menelepon nomer Azka. Ga diangkat, udah berkali kali dia mencoba tetap aja ga diangkat.

"Duh, gimana nih. Tau tadi nebeng Helen aja." rutuknya. Ia pun berjalan gontai ke arah gerbang. Ia berteduh dipinggir pos satpam.

"Percuma juga sih sebenernya kalo nebeng Azka, mesti basah. Bima lagi ada acara sama anak osis, Shaka juga latian di GOR." Githa menatap hujan yang tampak semakin deras, sehingga memercik kearah rok sekolahnya. Ujung sepatunya pun mulai basah.

"Git?" Githa menoleh dan mendapati sosok Shaka sedang memegang payung.

Alangkah kagetnya ia, antara senang dan takjub. Ga nyangka kalo Shaka ada di sekolah sesore ini.

Shaka menghampiri Githa dan memayunginya, "Ngapain masih di sekolah?"

"Ya ampun Shak, lucky banget aku ketemu kamu!" Githa tersenyum sumringah.

"Yaudah nanti aja ceritanya, deras banget ini, yuk ke mobil." Shaka meraih tangan Githa dan menggenggamnya.

Lalu mereka berdua pun berlari menuju mobil Shaka yang ternyata diparkir tak jauh dari pos satpam.

"Kamu ngapain masih di sekolah Git?" tanya Shaka lagi. Ia memberikan sapu tangannya kepada Githa.

Githa mengambil sapu tangan itu cepat dan menngeringkan wajah dan tangannya sambil nyengir.

"Tadi ngerjain tugas kelompok, terus ga sadar udah sesore ini. Hujan deras pula."

"Terus kenapa ga pulang bareng yang lain?"

"Hari ini kan Azka ada latihan, aku pikir dia masih ada di studio, eh ternyata kosong. Ditelfonin ga diangkat." jelas Githa, "Kamu ngapain masih disekolah? Bukannya tadi siang ke GOR?"

Shaka menghidupkan mesin, dan menjalankan mobilnya, "Nganterin absen ke ruang basket. Kan searah pulang."

Githa hanya mengangguk-angguk kecil. Dalam hati ia berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirim Shaka.

"Laper ga Git?" tanya Shaka tiba-tiba, tapi langsung dijawab dengan anggukan antusias dari Githa.

"Kamu bisa baca pikiran ya? Tau aja. Ke Bakso Pak Ben yuk Shak, udah lama ga kesana!"














*













"Iya, ya. Udah lama ga ngebakso. Kita udah jarang ngumpul ya Git." Shaka memecah keheningan sambil menuang kecap ke mangkuk baksonya.

Githa meringis, ga heran lagi. Dia emang udah tau kalo teman-temannya bakalan sibuk banget semester ini.

Baru juga dua bulan mereka masuk sekolah, Bima udah jadi ketua osis dan panitia PENSI, Shaka sibuk latihan basket karena banyak turnamen di akhir tahun, sedangkan Azka tiba-tiba jadi anggota band yang jadwal latihannya padat banget kayak jadwal kereta.

Tinggallah dia sendiri yang selo ga ngapa-ngapain palingan juga main kerumah Marsha, dan belanja sama Mama. Mentok-mentok sibuk ngerjain tugas sekolah yang banyaknya ampun-ampunan.

"Woi malah bengong lagi." tegur Shaka.

Githa meringis lagi, "Iya udah lama. Kumpul-kumpul malam minggu di rumah Azka juga suka ga full team. Kadang malah si Azka yang pergi keluar. Getol banget dia ngebandnya padahal PENSI juga masih semester depan." gerutu gadis itu.

"Kan dia ga bakalan cuma tampil di PENSI sekolah kita Git. Bulan depan dia manggung di SMA 48."

"Hah? Serius kok ga pake cerita tuh anak," Githa kaget, biasanya Azka selalu cerita kegiatan dia kepada Githa.

Soalnya walau bandel, Azka itu sebenernya comel banget.

"Dia juga ceritanya ke aku pake surat bulanan Git." Shaka tertawa.

Githa mendengus, teringat surat bulanan Azka yang kosong. Lalu mendadak ada hening diantara mereka.

Githa lagi males memulai obrolan dan asyik menatap hujan, sedangkan Shaka juga tidak tau topik obrolan apalagi yang harus ia bahas dengan Githa.

Sisa sore itu pun mereka habiskan dengan kesunyian.














*

[1] SEVENTEEN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang