6. Gagal

101 10 0
                                    

Setelah banyak mendengarkan kisah dibuatnya Borobudur dari pemandu wisata. Kami akhirnya bersiap berangkat ke pantai Indrayanti. Aku sangat tidak sabar menikmati senja disana. Apalagi kalau pas aku nembak langsung diterima. Ahhh... Bagaimana itu rasanya? Tapi aku tidak muluk muluk seperti itu. Karena aku tahu diri.

Aku berjalan ingin memasuki bus, aku ingin mengambil minum yang kusimpan di tas besar. Dan tiba tiba ada yang memanggilku.

"Gibral" dari suara khasnya sudah kutahu siapa yang memanggil. Gibran berdiri dibelakangku, wajahnya pucat dan banyak keringat di dahinya. Aku berbalik badan menatapnya, dan seperti bercermin melihat wajahnya.

"Kenapa?" tanyaku singkat.

"Kayaknya obat gue ada di tas lo, bunda salah masukin." ucapnya dengan suara lirih. Saat itu, aku masa bodo apa yang terjadi. Memangnya aku harus apa bila obatnya ada di tas ku?

"Yaudah ambil sana." aku membalikan badan, dan kakiku sudah menaiki anak tangga di bus. Dan kulihat Adline pun ingin keluar di pintu yang sama. Kulihat wajahnya yang seketika terkejut, bukan terkejut karena ada aku. Tapi ia terkejut melihat Gibran yang berdiri di belakangku.

"Gibran!..." teriaknya. Aku langsung menoleh kebelakang. Dan pemandangan yang amat mengejutkan. Gibran sudah tergeletak dibawah. Semua langsung ramai mengerumuni.
Aku mengusap dahinya sejurus kemudian, darah mengalir dari hidung mancungnya itu. Adline menatapku nanar, kulihat sorotan mata penuh arti panik disana. Gibran pingsan karena tak minum obatnya. Aku sedikit menyesal telah mengabaikannya.

Gibran dibawa ke tempat yang sedikit teduh, aku mengikuti dari belakang. Semua disana langsung panik, apalagi bu Tika yang memang mempunyai tanggung jawab atas Gibran. Bunda berpesan dengan wanti wanti agar menjaga Gibran dan menitipkan Gibran kepadanya.

"Cepat telepon ambulance!" perintah pak Suryo sambil mengusap rambut Gibran yang kini basah karena keringat. Saat itu, aku hanya berdiri sendiri melihat keramaian. Entah bego atau apa, yang jelas aku sama sekali tak tertarik melihat pemandangan seperti itu.

Tak lama ambulance datang. Suasana suka ria hancur begitu saja karna Gibran. Gibran dimasukan ke dalam mobil, bu Tika dan pak Suryo sudah ikut masuk ke dalam mobil. Saat itu kuyakin Gibran di bawa ke klinik terdekat, tapi pasti takkan bertahan lama. Biasanya Gibran kalau sudah seperti itu harus dilarikan kerumah sakit dan di opname minimal tiga hari.

Aku ya aku, tetap saja bersikap seolah tidak ada apa apa. Aku masuk ke dalam bus, saat itu hanya ada aku di dalam sana. Teman temanku semuanya ke pasar untuk membeli oleh oleh. Dan Jordan pasti sedang pacaran dengan Nana.

"Gibral!" panggil seseorang. Kulihat Adline sudah disampingku.

"Kenapa?" tanyaku menatapnya.

"Lo gak punya hati? Kakak lo itu lagi sakit, lo gak ikut kesana? Atau apa kek!" dia menggerutu. Dan kulihat sekali ekspresi kesalnya memburu.

"Kan dia udah punya guru pendamping, yang khusus dimandat sama bundanya Gibran." jawabku dengan nada se santai mungkin. Sekalipun aku ini sangat sensitive jika membahas soal Gibran dan Bunda. Kulihat Adline mengerutkan dahinya.

"Kok lo gitu?" tanyanya.

"Gitu gimana?"

"Lo gak sayang sama Gibran"

"Emang lo udah pernah masuk dan ngebaca hati gue?"

Kulihat dia diam sejanak. Nafasnya masih memburu.

"Ayo kerumah sakit." ajaknya.
Fikirku saat itu, mengapa disaat yang seperti ini baru Adline mau menatap wajahku, mau meminta pertolonganku, mau membujuk, mau menasihati. Apa alasannya hanya karna Gibran?

Say you won't let goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang