Delapan tahun berlalu, aku waktu itu sedang ada di Milan tinggal di Appatement milikku sendiri, bangga rasanya, seorang Gibral Ajerbaizan Haradja yang dari dulu gila, tapi bisa berjuang di negeri orang. setelah wisuda dari Milano University satu bulan yang lalu, aku tetap tinggal di Milan. Sedangkan om Feri tinggal di Torino karena pekerjaannya.
Setelah pindah dari Azerbaizan. Om Feri dan keluarganya sempat mengajakku pindah ke German selama dua bulan saja. Lalu pindah lagi ke Italia sampai sekarang.
Aku kuliah di Roma beberapa semester, namun aku mendapat beasiswa ke Milan. Akhirnya aku menyelesaikan S2 di Milano University, kampus klasik dan romantis. Oh ya! Sekarang Gibral ini Arsitek. Memang tidak pernah terbesit sedikitpun bahwa Arsiteklah yang akan jadi goals dalam hidup ini.
Mungkin terdengar aneh, Gibral yang dulunya alergi dengan pelajaran. Kini bisa menjadi sarjana lulusan Italia. Tapi itulah kenyataannya.
Dan aku menangis saat aku melihat diriku sendiri di cermin memakai baju wisuda dan topi toga.Aku jatuh cinta dengan Italia, dulu ke Belanda. Tapi setelah difikir fikir, Italia adalah negara Romance yang bisa membuat siapa saja terbuai dalam aroma Cappuchino, Caramel Machiato, dan yang lain lainnya. Belum lagi Italia punya Venice, si kota air yang indah. Punya Verona yang klasik, dan punya Milan yang jadi kiblatnya fashion dunia.
"Molte grazie Mr. Ajerbaizan." dia menjabat tanganku. Lalu tersenyum. Setelah bapak bapak itu pergi, aku menghela nafas lelah setelah seharian di kantorku. Mr. Robert adalah pengusaha kaya raya yang ingin bekerja sama dengan kantor kami. Tempat berkumpulnya arstitek arsitek kondang di Italia. Dan aku termasuk. Dan aku bangga.
Katanya bulan depan kami semua di kontrak untuk membuat kantor di daerah Ravenna. Apa Ravenna? Aku serasa ingat nama itu, mendengarnya saja sudah manis rasanya.Ruanganku masih sangat baru dan rapi, karena aku baru dua bulan bekerja disini. Dulunya aku magang, tapi setelah wisuda, aku diangkat jadi karyawan tetap di Italia.
Aku membuka dasi yang serasa mencekik leherku. Saat itu aku benar benar lelah dan belum terbiasa bekerja kantoran. Karena semasa aku kuliah aku jadi pelayan cafe, ya untuk sampingan membeli buku buku pelajaran.
Aku rasa memang benar, tiada perjuangan yang berkhianat. Kalian tak tau betapa berjuangnya aku untuk mendapatkan hal yang layak. Banyak sekali kesusahan yang aku alami di Italia. Mulai dari Senior yang gila gila semua, bahasa Italia yang membuat kepalaku pusing. Pokoknya banyak deh.
Aku rindu Indonesia, terutama rindu ayah. Seandainya ada ayah, ayah pasti memelukku saat aku wisuda, dan pasti ia berbisik. "Raden hebat." aki yakin!. Tapi tak apa, aku yakin ayah bangga disana melihat anaknya sukses.
Aku rindu Gibran, oh iya, Gibran juga S2 lulusan ITB, dan waktu itu ia jadi dosen di salah satu Universitas di Jakarta kalau tidak salah.
Kalau bunda masih sibuk dengan butik yang sudah banyak cabangnya di seluruh Jawa Barat.Saat itu aku sedang berdiri di jendela kaca yang menyajikan pemandangan kota Milan yang sedang diselimuti salju.
Tiba tiba handphoneku berdering. Aku mengambilnya dari saku jas ku. Dan kulihat namanya Gibran.
"Ciao?"
"Pak mau minta dibikin rumah nih pak."
"Bikin rumah? Saya bisanya bikin keturunan pak. Bapak salah orang."
"Hahaha... Sehat den?"
Mendengar suaranya. Aku teringat ayah, suara dan nada bicaranya mirip.
"Sehat, cuma kemarin sedikit flu. Karna disini winter."
"Oh yaudah jaga kesehatan. Bunda mau ngomong nih."
Aku menunggu beberapa saat untuk bicara dengan bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say you won't let go
RomantizmCERITA HANYA FIKSI (Cerita ini diikutsertakan pada kompetisi Wattys2017) Jika hidup seperti pendengar radio, yang bisa me-request lagu mana yang akan diputar di siaran itu. Maka, aku akan me-request takdirku ke tuhan, agar selalu manis dan menyenang...