8. surga ditelapak kaki ayah

90 8 2
                                    

Hari itu adalah hari minggu. Aku semakin tidak betah ada dirumah, rasanya aku ingin menghabiskan waktu bersama anak jalanan yang ada di kolong jembatan jalan raya, temanku saat masih kecil dulu. Aku jarang mengunjungi mereka. Selain sibuk sekolah, mereka pun ada yang memakai narkoba. Aku hanya tidak mau diri yang sudah hancur karena nakal lebih bobrok lagi karena kecanduan narkoba. Lagi pula, aku sayang dengan ayah. Ayah sudah cukup tersiksa dengan penyakitnya Gibran, dan aku tidak mau menambah beban ayah.

Suara pintu kamarku ada yang mengetuk, dan tak lama terdengar suara lembut yang bisa membuatku tenang.

"Aden, sarapan dulu. Nanti makanannya dingin." suara Bi Anah dari balik pintu.

"Siap komandan!" teriakku dari dalam kamar. Kudengar bi Anah tertawa.

Aku beranjak dari kasur dan keluar kamar. Aku menuruni anak tangga, dan saat melewati kamarnya Gibran yang pintunya sedikit terbuka. Aku melihat Gibran duduk di tempat tidurnya dengan sweater rajut yang tebal. Wajahnya menghadap ke layar laptop.

"Semenjak Gibran kenal dia, Gibran punya banyak alasan untuk melawan penyakit Gibran ayah." suara lirihnya kudengar menyebut nama ayah. Berarti Gibran sedang video call dengan ayah.

"Tapi ayah, disatu sisi Gibran takut. Gibran takut bikin dia kecewa misalnya nanti Gibran harus pergi. Karena kata dokter, kanker di hati Gibran gak bisa hilang, cuma bisa melemah." ucapnya lagi.
Entah mengapa lututku seketika lemas mendengar itu, jantungku selalu berdegup kencang saat mendengar Gibral mengeluh soal penyakitnya atau membahas soal kepergiannya suatu saat.

Karena pada dasarnya, aku sangat menyayanginya. Aku selalu mendengar rintihannya dikala penyakitnya itu kambuh, selalu melihat rambutnya yang rontok dimana mana, melihat badannya yang kurus, melihat darah yang keluar dari hidungnya, melihat ia muntah darah, aku pun ikut tersiksa melihat itu semua. walaupun kankernya belum terlalu akut, tetapi kanker hati cukup berbahaya.

Setelah aku mendengarkan mereka mengobrol. Aku menghampiri meja makan dan hanya ada bi Anah yang sedang merapikan piring.

Handphone-ku berdering. Dan kulihat Jordan mengirim pesan singkat.

Jordan : "Lo mau ikut hangout gak? Gue sama yang lain lagi pada di kafe baru deket rumahnya Ade."

Aku sempat berfikir aku akan ikut mereka atau tidak. Selain masih pagi, aku juga rasanya lelah.

"Masih pagi njir. Lagian jauh banget disana? Biasanya juga di tempat biliard" balasku.
Beberapa menit kemudian Jordan membalas.

Jordan : "Mumpung ada Nana, lo bisa nanya nanya tentang Adline sama dia. Payah lo!"

"Oke gue berangkat setengah jam lagi, gue belom mandi. Tunggu lo!"  balasku. Aku buru buru memasukan roti selai srikaya ke mulutku.

"Bi, mobil nganggur gak?" tanyaku ke bi Anah.

"Si aden teh malah nanya ke bibi, emang bibi yang punya?" tanyanya sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, perempuan yang usianya hampir setengah abad itu menghampiri meja makan.

"Bun, kunci mobil mana?" tanyaku.

"Mau kemana kamu?" tanya Bunda dengan nada datar.

"Ada urusan."

"Urusan kamu itu apa si Gibral? Paling juga urusan yang gak berguna." ucapnya membuatku menelan ludah. Sabar Gibral.

"Bentar bun." aku sedikit memohon.

"Gibran, kamu kenapa sayang?" bunda bangkit dari tempat duduknya saat melihat Gibran berjalan terbata bata menyusuri tembok. Bi Anah dan bunda langsung membantu Gibran berjalan ke meja makan. Aku santai saja sambil menikmati roti di bangku.

Say you won't let goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang