Di bandara Soekarno Hatta aku jalan nyaris seperti orang mabuk. Tiba tiba om Feri menepuk bahuku dari belakang.
"Kamu dijemput Gibran?," tanyanya.
"Iya dijemput om, tuh disana." aku menunjuk ke arah depan.
"Yaudah, om sama tante langsung ke Tanggerang yah. Kamu hati hati." om menepuk nepuk bahuku. Lalu aku berjalan ke arah Gibran menungguku. Dari jauh saja aku tau kalau itu dia.
Aku berdiri tepat di depannya. Dia langsung memelukku erat. Kami dilihat banyak orang. Termasuk mang Tono yang sudah mau menangis wajahnya.
"Gak nyesel gue sempit sempitan sama lo di dalem perut. Kalo akhirnya lo begini." katanya setelah melihat wajahku yang melihatnya datar karena kelelahan.
"Italian please!." kataku, membuatnya memukul perutku.
"Gaya! Makan semur jengkol aja bahasanya Italia." dia merangkulku untuk berjalan menuju parkiran. Koper dan sebagainya sudah dibawakan oleh mang Tono.
Setelah mobil jalan. Aku hanya memejamkan mataku menikmati macetnya Jakarta. Gibran teleponan dengan teman kuliahnya mungkin.
Tapi tidak lama, langsung selesai."Jam tangan Rolex tuh?," tanya Gibran saat melihat jam tangan berwarna silver yang melingkar di pergelangan tanganku.
"Yoi lah! Bukan KW bukan imitasi." aku melihat dan mengusap ngusap jam tanganku yang merknya Rolex. Sebenarnya itu aku beli karena terjebak suasana.
Di suatu hari di daerah Roma. Aku dan teman teman kampus jalan jalan di mall. Dan mereka mengajakku ke toko jam tangan, karena gengsi selangit sudah tak terbendung. Masa iya aku cuma bengong melihat lihat jam Rolex yang keren sedangkan teman temanku itu beli. Akhirnya, aku pakai semua tabunganku untuk membeli jam tangan itu. Dan alhasil, tiga hari aku hanya makan roti sedikit sedikit karena tidak punya uang untuk beli makanan. Jam Rolex itu dulu aku beli kalau dirupiahkan seharga 15.000.000,00. Dan gara gara jam Rolex serta gengsi sialan. Aku jadi kerja pelayan cafe saat itu. Belum lagi dimarahi om Feri.
"Keren deh sekarang mah." pujinya.
"Iyalah, pacarnya Gigi Hadid." aku menunjuk diriku sendiri dengan ibu jari.
"Gak dapet pacar di Italia?" tanya Gibran sambil mengangkat alisnya yang menyebalkan.
"Yang mau mah banyak, dari mulai receptionis kantor, sampai model dari kampus gue. Ah banyak deh. Dari mulai yang biasa aja, yang meliuk liuk, sampai yang ahh... Mantap deh." kataku mendramatisir suasana.
"Terus lo pilih yang mana?" tanyanya lagi.
"Pilih calon istri lo hahahahahahaha...." aku langsung tertawa ngakak seperti gondoruwo. Sedangkan Gibran menyunggingkan bibirnya jijik melihat ketawa jahatku.
"Pak depan ke KFC dulu pak. Laper aku." kataku. Aku langsung mengalihkan pembicaraan.
"Lo gak puasa?!," tanyanya sangat terkejut.
"Nggak. Gak kuat gue.," jawabku sambil mengusap ngusap perut.
"Kebiasaan lo mah!." nadanya ketus.
Setelah makan di KFC. Kami semua masuk lagi ke mobil dan masuk ke jalan Toll untuk ke Bogor. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur. Kaki aku naikan ke sandaran bangku depan.
Entah berapa jam perjalanan. Tiba tiba aku dibangunin dan katanya sudah sampai rumah. Dan benar saja, saat kulihat keluar jendela, rumah warna yang saat itu sudah ganti cat jadi warna abu abu ada tepat di depan mataku. Rumah yang sudah menyaksikan jutaan peristiwa pahit dan manis termasuk duka yang paling pilu saat ayah pergi dari hidup kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say you won't let go
RomanceCERITA HANYA FIKSI (Cerita ini diikutsertakan pada kompetisi Wattys2017) Jika hidup seperti pendengar radio, yang bisa me-request lagu mana yang akan diputar di siaran itu. Maka, aku akan me-request takdirku ke tuhan, agar selalu manis dan menyenang...