2. Ravenna Alessandria Adline

200 17 0
                                    

Ravenna Alessandria Adline, atau kerap dipanggil Adline. Ravenna adalah nama kota di Italia begitu juga Alessandria. Dan Adline adalah nama belakang yang dipakai untuk panggilannya.

Dia cantik, dan itu sudah pasti. Dia perempuan yang kucintai, itu memang kalimat fakta.
Dia yang kuperjuangkan, itulah kenyataannya.

Dia perempuan yang berhasil merebut semua duniaku agar masuk ke dalam dirinya beberapa tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMA Dharmayasa.

Dia adalah perempuan yang tidak terlalu cantik untuk dipandang orang normal. Tapi aku kan tidak normal, jadi aku memandangnya terlalu cantik.

Rambutnya sering diikat asal atau pula sengaja digerai. Hidungnya tidak terlalu mancung, matanya bulat dan menggemaskan serta berseri seri. Bibirnya indah, membuat siapapun ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang aku inginkan.
Tubuhnya tidak gendut dan tidak kerempeng, lalu tidak seksi seperti anak SMA yang kebelet hits.
Suaranya tegas, namun tidak seperti suara polisi militer yang sedang membentak para juniornya.

Adline berbeda dengan perempuan pada umumnya. Karena perempuan pada umumnya tidak ada yang bisa menaklukan hati seorang Gibral, tapi Adline bisa. Itu sebabnya dia sangat amat spesial. Aku seperti prajurit yang menurut pada ratunya jika melihat Adline.

Aku mencintainya, saat melihatnya menangis karena permen karet yang kulempar asal mengenai rambutnya dan menempel. Lalu, ia menggunting sebagian rambut itu, karena ia jijik melepaskan permen karet bekas aku kunyah waktu itu.
Pada saat itu aku panik bahwa permen karet ternyata mengenai orang. Ku hampiri dia, dan tamparan itu langsung mendarat dipipiku. Aku menatapnya bingung, sedangkan mata tajam itu terus menawan setiap ekspresi di wajahku.

"Gue benci sama lo, sebanyak rambut yang gue gunting. Gara gara kena najis!" kata kata itu langsung menusuk ke hatiku. Bila kuingat kembali, lucu wajah Adline saat itu. Melotot menahan kesal. Dan aku suka suasana saat itu, diperhatikan banyak orang di depan koridor kelas dekat taman apotek hidup.

Kata kata hinaan yang amat menghina itu hanya aku balas senyuman santai.
"Gue suka sama lo, sebanyak rambut yang tumbuh dikepala lo." kujawab saja begitu, dan aku niatnya bercanda. Tapi hatiku sedang tak bisa diajak bercanda, seolah itulah sumpahku. Yang kini terus membelenggu hati, agar terus mencintai Adline.

Saat kujawab seperti itu, Adline menghentakan kakinya kesal, lalu ia melempar gunting itu ke wajahku. Untung saja aku langsung mengelak, kalau tidak, entah apa yang terjadi dengan wajahku.

Adline dan temannya yang bernama Nana berlalu dengan cepat dan langkah yang seolah menjauhiku dengan buru-buru. Kulihat rambutnya yang kini ada yang pendek sebelah. Kutatap terus sampai Adline berbelok ke arah toilet. Dan beberapa detik pun ia keluar dari arah toilet tersebut dengan wajah merah menahan malu ataupun kesal. Yaitu sudah pasti, karena ia masuk ke toilet laki laki. Sudut matanya sedikit melirikku tajam, aku sedang tertawa saat itu.

Itulah Adline, dengan sejuta hal yang membuat aku ingin sedekat mungkin dengan dia. Walaupun seharusnya aku sadar, aku tak pantas untuk dekat dengan dia. Dulu ataupun sekarang, memang sama sekali tak pantas.

Adline itu penyuka langit yang sedang cerah, karena pasti warnanya biru muda disertai gumpalan awan menyerupai kapas. Karena Adline suka warna biru dan ia menyukai semua warna pastel.

Adline bercita cita ingin menjadi dokter, tapi Adline takut darah. Mana bisa?
Waktu itu pernah kusarankan ia menjadi pramugari saja, tapi ia menjawab "Kalo Pramugari, nyawanya milik langit. Harus siap kapanpun pesawat itu kenapa-kenapa. Gue gak mau"

"Yaudah, kalo gitu jadi penembak jitu aja, tim Gegana, Densus 88, Satpol PP, apa kek!" saranku lagi, aku hanya berniat menggodanya memang. Tidak serius dengan topik pembicaraan.

"Terus rambut gue bondol? Panas panasan? Gak mau!" tolaknya lagi. Aku terkekeh saat itu.

"Yaudah, yang nggak nyawanya milik langit, yang nggak harus rambutnya bondol, yang nggak harus panas panas ya jadi istri gue" itulah saran terakhirku yang langsung dihadiahi jitakan hebat. Aku tertawa, sedangkan ia malah menggerutu.

Disela sela tawaku, aku selalu memperhatikannya dari sudut mata ini. Wajahnya yang setiap kali menatapnya akan membuat jatuh cinta, entah efek jatuh cinta atau memang Adline itu cantik. Aku tak tau, yang jelas. Dia adalah perempuan yang mempunyai paras cantik yang asli, tanpa bedak dan saudara saudara nya. Adline cantik natural bagiku.

Aku tak dapat menceritakan banyak tentang Adline. Karena menceritakan itu sama saja aku merobek semua jahitan di hatiku, yang dengan susah payah kuobati semua luka itu. Cukuplah Adline di dalam otakku, hatiku, dan detak jantungku. Tak perlu semua tentang Adline kutulis disini.

To be continue...

Say you won't let goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang