Hari itu adalah hari Jum'at. Atau bisa kusebut hari itu adalah kiamat bagiku. Hari paling buruk dan pahit yang pernah aku alami.
Aku dan Gibran saat itu sedang sekolah, tapi masih tetap tidak tinggal satu rumah. Selama beberapa hari aku tinggal di rumah bi Anah. Suasana seperti biasa berisik dan gaduh.
Tiba tiba hening saat pak Suryo datang ke kelas kami. Dengan wajah seramnya, aku yang waktu itu sedang lempar lemparan kertas langsung berhenti dan duduk di tempat semula.
"Gibral, Gibran. Ke ruang guru sekarang." ucap pak Suryo datar. Aku bingung bukan main, mengapa ada Gibran juga yang dipanggil? Memangnya ada kasus apa?
"Woy gue kenapa?" tanyaku pada teman teman yang ada di belakang.
"Lo kena razia, cowok Jones." jawab Zed. Aku langsung menimpuknya dengan bola bola kertas dari bukunya si Andine yang aku colong.
Akhirnya terpaksa aku dan Gibran ke kantor. Berjalan di tengah lapangan yang panas, kutatap wajah Gibran dari belakang, berjalan santai dengan badan yang mulai mengecil. Sangat terlihat bahwa bahunya hanya tulang, aku sedih sebenarnya saat itu, tapi mau diapakan?
Saat aku sampai ruang guru, ada pak Tono sopir pribadi kami yang sedang duduk di sofa tamu. Beribu tanya melintas di otakku. Wajahnya lesu, dan putus asa. Ia menunduk tak berdaya.
"Pak Tono?" tanya Gibran. Aku masih berdiri menatap pak Tono.
"Den, pulang yah." ucap pak Tono mencengkram kedua bahu kami. Dan kutatap wajah pak Suryo yang menatapku aneh. Aku semakin tak mengerti mereka semua kenapa.
"Kenapa pak?" tanyaku. Dan kulihat pak Tono menangis.
"Pulang aja Den."
"Ya tapi kenapa?!" tanyaku mulai dengan nada tinggi.
"Tuan." jawabnya lirih.
"Kenapa ayah?!" tanya Gibran.
"Tuan kecelakaan di sana." jawab pak Tono. Jantungku seakan terkena hantaman paling kuat saat mendengar kata kata itu.
"Terus ayah gak kenapa kenapa?!" tanyaku mulai mendekat ke pak Tono. Kupaksa dia agar segera menjawab. "PAK JAWAB!" bentakku memegang kedua bahunya.
"Tuan meninggal den, sekarang sudah di bandara mau ke rumah duka." jawab pak Tono sambil menangis.
Seketika aku langsung melepaskan cengkramanku, aku mundur tiga langsung menjauh. Nafasku seakan sesak saat itu, seolah dadaku terjepit tembok beton. Lututku lemas, dan tak dapan menopang berat badanku.
"Pak Tono bohong." kataku sambil menggelengkan kepala.
Percayalah, saat itu aku hampir saja mau mati, saat mendengar kabar itu."PAK! JAWAB!" Aku menarik kerah bajunya. Lalu pak Suryo dan guru guru yang lain menahanku. Dan kulihat wajah Gibran yang sudah pucat, lalu kulihat dia meneteskan air mata.
"Gibral, sabar nak." bu Ratih mencoba menenangkan aku.
"Gibran! Ini itu bohong! Lo gak usah nangis. GIBRAN!" aku memegang kedua bahu ringkih milik Gibran. Tapi dia tetap menangis, dia menyentuh pipiku dengan tanganmya yang gemetar dan kutatap wajahnya sengit.
"GUE GAK PERCAYA KALO AYAH GUE MENINGGAL!" teriakku histeris, sampai terdengar ke semua ruang guru. Aku meronta tak ingin ditahan oleh pak Suryo dan bu Ratih.
"Gibral, ayo sayang kita pulang. Ibu antar." suara bu Ratih yang lembut itu cukup membuatku tenang.
"Bu, ayah aku gak meninggal. Ayah gak mungkin ninggalin aku, ayah itu sayang sama aku." ucapku menyakinkan semuanya bahwa ayah tidak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say you won't let go
Lãng mạnCERITA HANYA FIKSI (Cerita ini diikutsertakan pada kompetisi Wattys2017) Jika hidup seperti pendengar radio, yang bisa me-request lagu mana yang akan diputar di siaran itu. Maka, aku akan me-request takdirku ke tuhan, agar selalu manis dan menyenang...