12. Kehilangan arah

76 7 0
                                    

Saat itu, sudah sekitar tiga minggu yang lalu ayahku meninggal. Di bagian ini aku tak ingat betul apa yang terjadi, kuberi judul kehilangan arah karena semenjak ayahku meninggal aku mengalami depresi berat. Dan aku juga jadi tidak ingat apa saja yang terjadi, yang jelas aku merasa gila, jadi orang gila. Selama tiga minggu aku hanya duduk di kamar, memandangi foto ayah yang sedang memakai jas hitam nan gagah. Dan ditambah lagi Gibran yang semenjak hari itu pingsan lalu koma seminggu, dan kini masih dirawat dirumah sakit.

Aku duduk dikamarku yang berantakan itu, pecahan kaca dimana mana. Tidak ada yang membersihkan, karena bi Anah sudah tidak bekerja dirumahku lagi, dan bunda mana sempat merapikan kamarku? Menyayangiku saja ia lupa!.

Aku memandang robot Optimus Prime yang kuletakan disampingku yang sedang tiduran di kasur. Itu robot yang dibelikan ayah, mainan terakhirku yang dibelikan ayah saat aku kelas lima SD.

"Gibral takut ayah, Gibral takut." aku memeluk robot itu sambil menangis. Saat itu tak ada kegiatan lain selain menangis dan menangis. Aku lelah sebenarnya, tapi aku tidak bisa menahan kesedihan itu. Bayangkan saja, beberapa hari berturut turut semua duka ada di hidupku. Bagaimana kabarnya hatiku yang patah di dalam sana? Aku sakit! Bahkan lebih parah dari sakitnya Gibran.

'Tok Tok Tok' suara pintu diketuk. Dan tak lama kemudian dibuka, menampilkan bunda yang membawakan piring makanan.
Lalu bunda duduk disampingku yang sedang tiduran.

"Gibral" panggilnya lembut sambil menghapus air mataku.
Aku tak menjawab.

"Udah nak, jangan sedih terus. Ayah gak suka lihat kamu nangis." ucapnya mengusap ngusap rambutku. Dan bila diingat ingat, itulah pertama kalinya bunda bersikap lembut kepadaku.

"Lupain sayang." ucap bunda lagi. Kali ini kata katanya sangat amat menyinggungku. Apa? Lupain? Mana bisa aku melupakannya?

Tadinya ingin kujawab "Memangnya anda yang bisa melupakan anaknya?" tapi tidak jadi, aku malas ribut dengan bunda.

"Bunda itu banyak yang sayang, jadi ayah meninggal pun biasa saja. Kalau aku? Memangnya siapa yang sayang sama aku selain ayah?" tanyaku dengan suara yang serak akibat kebanyakan nangis. Bunda kulihat langsung bungkam, dan mataku masih menatap matanya seolah aku menunggu jawaban darinya.

"Makan dulu yah, bunda suapin." ucapnya lalu mengambil piring yang ia letakan dimeja belajarku.
"Bunda buru buru mau ke rumah sakit. Kesian temannya nungguin sendiri." lanjut bunda yang membuatku menoleh ke arahnya.

"Siapa Rico?" tanyaku.

"Itu Adline, teman sekelasnya katanya." jawab bunda. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Jangan tanya!

Aku diam membisu mendengar jawaban bunda.

"Tadi ada yang bawain kamu buah. Tapi kamunya tidur." kata bunda lagi.
"Andine namanya, teman sekelas kamu juga?" aku mengangguk sebagai jawaban.

Fikirku saat itu, mengapa harus Andine yang repot repot datang kerumahku? Bahkan jika Adline hanya lima menit kerumah aku pasti senang. Walau hanya lima menit! Tapi sekarang aku tak berfiki seperti itu. Pola fikirku saat ini "Beruntung masih ada yang perduli."

"Buahnya dikulkas." ucapnya lagi. Aku mengangguk.

"Ayo dong sayang dimakan, nanti kalo kamu ikutan sakit bunda repot." ucapnya. Aku diam saja sambil menatap mainan robotku. Akhirnya aku rasa bunda menyerah, dia keluar kamarku dan pergi meninggalkanku. Biarkan saja! Memangnya aku perduli?

Sudah! Dari mulai bunda pergi aku tak tau lagi apa yang terjadi. Karena aku memang sedang terkena gangguan jiwa, jadi tak ingat semua apa yang aku alami sejak ayah meninggal. Yang jelas dihari itu pula, aku tertabrak mobil dan rasanya sangat amat sakit. Dan perempuan yang kulihat sebelum aku pingsan, ada bi Anah. Dan mungkin bi Anah juga yang membawaku ke rumah sakit. Saat itu rumah sakitku dengan rumah sakitnya Gibran sama. Dan pokoknya aku tak ingat apa yang terjadi sebelum aku kecelakaan.

To be continue...

Say you won't let goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang