18. kacau

152 8 0
                                    

Saat itu hari raya idul fitri, dimana hari itu muslim seluruh penjuru dunia merayakan kemenangan dan menyerukan takbir yang menggema.

Setelah shalat idul fitri di masjid. Aku pulang ke rumah, ini adalah tahun ke sembilan ayah tak bersama kami, biasanya kami makan ketupat bersama, halal bihalal keliling kompleks, tapi kali ini sepi.

Saat itu aku sedang mencium tangan ibu, meminta maaf atas segalanya. Segalanya yang pernah aku lakukan kepada malaikat tanpa sayap itu, bunda menangis sambil mengusap ngusap kepalaku.

"Makasih bunda, udah besarin Gibral walaupun Gibral ini nakal, susah diatur, cuma bikin bunda terbebani. Dan terimakasih, atas semua doa bunda aku bisa bikin bunda bangga. Bunda, cuma bunda alasan Gibral bertahan atas semua rintangan." tangis bunda meledak dipelukanku. Gibran memeluk bunda juga, kulihat ia tersenyum, matanya berbinar binar.

Percayalah, saat itu aku ingin teriak sekencang kencangnya bahwa aku merindukan ayah. Aku ingin meledakkan semuanya, aku ingin menangis sejadi jadinya dipelukan ayah, aku akan menceritakan semua yang terjadi setelah ayah pergi. Tapi ayah tidak disini, ayah jauh dan kuharap ayah tenang disana.

Setelah halal bi halal ke tetangga, kami semua ingin ke pemakaman. Ziarah ke makam ayah. Aku akan menemui gundukan tanah yang didalamnya ada jasad superman-ku.

Gibran membawa mobil santai. Aku duduk dibelakang sambil membuka laptop mengerjakan semua laporan dan tugas yang terbengkalai selama beberapa hari.

Dan saat aku melihat keluar jendela, aku baru sadar bahwa kami melewati gang pemakaman. Aku terkejut dan langsung bertanya.

"Kok kita kelewat?,"

"Kita ke rumahnya Adline sebentar, silaturahmi." jawab Gibran. Entah kenapa emosiku seketika memuncak mendengar perkataannya. Tidak ada alasan yang jelas, namun aku ingin sekali marah.

"Jadi lo nomor duain ayah?!" tanyaku sedikit membentak.

"Gibral, kamu itu kenapa sih. Kita silaturahmi ke calon keluarga."  ucap bunda. Aku bukannya tenang malah semakin menggebu gebu.

"Itu keluarga bunda sama Gibran. Bukan keluarga aku." jawabku kesal, Gibran memberhentikan mobilnya dipinggir jalan.

Dia melihatku dari kaca, kulihat lagi tatap matanya yang cukup marah.

"Maksud lo apa?!" tanya dia dengan nada marah.

"Gue bukan keluarga mereka!." jawabku lagi penuh penekanan.

"Gibral udah nak." ucap bunda menenangkan.

"Bunda juga sama aja, tetep aja Gibran prioritas bunda. Sekalipun aku raja, bunda tetep utamain anak bunda." kacaulah sudah, aku pun tak mengerti kenapa aku bis Berbicara seperti itu ke bunda. Namun saat itu aku sedang benar benar kacau, saat aku ingat ayah di hari idul fitri yang lalu, aku semakin merindukan ayah. Ditambah lagi, Bunda dan Gibran kurang mengerti apa yang aku mau, mereka egois fikirku.

"Gibral!." bentak bunda.

"Apa?! Bunda mau marah?! Terserah, saya gak perduli!." aku langsung membuka pintu mobil dan berlari dari mobil.

Aku tetap berlari menuju pemakaman ayah, setelah beberapa menit berlari, aku terhenti, tepat di gundukan tanah yang ditumbuhi rumput dan ditancapkan batunisan. Aku berjalan perlahan ke arah itu, dan aku berlutut, lalu memeluknya, yang kurasakan bukan hangat pelukan ayah, yang aku rasakan tanah yang dingin. Aku menangis di atas pusara ayahku, aku menangis sejadi jadinya. Terserah mau kalian sebut itu air mata apa, yang jelas aku tak tahan lagi.

"Ayah jahat!... Ayah ninggalin aku, mana janji ayah mau datang ke wisuda aku kalau aku lulus kuliah?! Aku berjuang sendiri ayah! Mana ayah! Mana!!!." aku teriak histeris sambil memukul mukul gundukan tanah itu, baju koko berwarna putih yang kukenakan kini berwarna coklat karena tanah.

"Beberapa bulan lagi Gibran nikah! Ayah tau dia menikah sama siapa?! Dia nikah sama perempuan yang aku sayang dari dulu, jauh sebelum Gibran kenal perempuan itu. Salah aku apa ayah?!" entah kepada siapa aku berbicara.

"Harusnya ayah bela aku, harusnya ayah ada buat aku disaat aku harus ngeliat mereka duduk berdua dipelaminan. Tapi ayah dimana?!" bentakku.

"Ayah pembohong! Ayah pembohong!." aku mencakar cakar pusara ayahku.

Sebenarnya, itu adalah penyakitku, kelainan semenjak aku depresi berat saat ayah meninggal, kata dokter aku tidak boleh tertekan, jika tertekan aku akan melakukan apapun tanpa merasa bersalah, tanpa tega, karena terkadang aku tidak sadar melakukannya. Dan hari itu, penyakit depresi berat datang lagi ke dalam hidupku.

"Ayahhhhhh...." aku memeluk kuburan ayahku. Sambil menangis, aku sudah tak bisa lagi mengendalikan emosiku.

Tiba tiba dari belakang ada tangan yang menyentuh bahuku, langsung kutatap wajahnya. Siapa lagi kalau bukan Gibran, aku langsung berdiri dan mengangkatnya dengan menarik kerah bajunya. Kulihat juga bunda dan Adline yang membuntuti Gibran.

Tanpa fikir panjang, langsung kuhantam wajahnya sampai ia terjatuh. Lalu kutarik lagi kerah bajunya.

"GUE BENCI LO GIBRAN! GUE BENCI LO!." teriakku sambil menghabisinya, bunda menarik tanganku. Dan Gibran menghabisiku juga.

Gibran mengunci tanganku dari belakang. Dan tiba tiba benda kecil dan pahit menerobos bibirku, aku melihat Adline yang memasukannya ke mulutku. Aku hanya bisa memberontak, tapi tenangaku tak cukup kuat untuk melawan.

Yang dimasukan Adline adalah obat penenang yang diberi dokter untukku, dan hanya boleh diminum saat terdesak saja, contohnya jika saat aku tidak bisa dikendalikan.

Beberapa saat kemudian mataku buram dan lama kelamaan gelap. Dan saat itu aku langsung tertidur atau tepatnya pingsan.

***

Saat aku bangun, aku sudah ada di kasur kamarku. Aku mencoba mengingat ingat apa yang terjadi, setelah ingat aku hanya menarik nafas lelah.

Masih di hari raya, namun bagiku sama saja seperti hari hari lain. Mungkin beda bagi orang lain, namun bagiku tidak.

Saat aku keluar kamar, diruang tamu sudah banyak teman temanku. Bahkan ada Adline yang ikutan berkumpul. Aku malas melihat pemandangan itu.

Untuk apa aku melihat dia? Jika pada akhirnya dia itu akan jadi milik orang lain. Semua usahaku selama ini sia sia, tapi kata Zed benar, aku harus berjuang sampai bendera kuning berkibar. Namun apa iya aku harus merebutnya meskipun dia sudah menjadi istri dari Gibran? Kakak-ku sendiri? Aku rasa itu adalah cara murahan yang dilakukan untuk orang sepertiku.

Aku mengambil kunci motorku, dan segera melenggang ke pintu keluar. Aku mendengar mereka meneriaki aku supaya ikut berkumpul bersama mereka.

Aku menyayangi diriku sendiri, aku tidak akan membiarkan aku terus menerus mencintai orang yang seharusnya tidak sama sekali pantas untuk mendapatkan cintaku. Dan aku percaya, aku akan mendapatkan perempuan yang lebih segala galanya dibandingkan dia.

Setelah menunggangi motor, aku membawanya pergi tanpa tujuan. Jalan pada malam hari raya itu lumayan lenggang, karena masih banyak orang mudik. Jadi aku bebas kebut kebutan dijalan, karena di Italia susah untuk kebut kebutan. Disana itu sangat disiplin, aku bisa dipenjara bila ngebut di jalan raya.

To be continue...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Say you won't let goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang