Senin pagi yang terik itu aku harus upacara bendera. Aku dipaksa masuk sekolah sama Bi Anah. "Kalau aden mau lebih tinggi derajatnya dari uang dua juta, aden harus sekolah." kata kata itu sampai sekarang masih kuingat. Kata kata yang amat memotivasi hidupku untuk sukses. Hingga sekarang aku bisa menikmati semua apa yang sudah aku kerjakan.
Aku berjalan menuju barisan belakang, bajuku lusuh dan kucal. Aku berdiri dengan fikiran yang melayang entah kemana, caci maki bunda selalu terngiang ditelingaku. Jordan dan yang lainnya jadi diam saat upacara jika aku tak banyak tingkah.
Mataku sudah berkunang kunang, buram dan sudah lemas lututku. Tapi aku tetap berusaha berdiri, walaupun saat itu sempoyongan. Dan seseorang menyentuh bahuku, dan saat itu pula aku pingsan dan tak ingat apa apa lagi.
***
Saat aku membuka mata, rasanya buram tapi setelah aku kedipkan akhirnya normal kembali. Aku terbaring di UKS, mungkin itu pertama dalam sejarah aku pingsan saat upacara.
"Tekanan darah kamu rendah, terus kamu juga belum sarapan yah?" suara itu memecah ruangan sepi. Kulihat perempuan dengan rambut digerai sedang menulis sesuatu di meja. Ya, aku memang tidak sarapan pagi ini. Bukan tak mau makan masakan bi Anah, tapi aku tak punya rasa nafsu makan sama sekali.
"Kamu makan dulu yah, tadi udah aku beliin." perempuan itu mendekat, dengan baju PMR Andine sangat cantik. Dan aku tidak mau menceritakan cantiknya, nanti aku rindu.
"Kamu kok tumben pingsan?, aku kira tadi Gibran." ucapnya. Aku tersenyum.
"Lagi ketuker jiwanya" jawabku asal. Dia tertawa.
"Tadi gue siapa yang gotong?" tanyaku.
"Ya siapa lagi kalau bukan sahabat sahabat kamu." jawabnya.
"Lo gak masuk kelas?" tanyaku.
"Nggak, aku kan lagi piket UKS." jawabnya. Aku jawab "Oh"
"Lagian sekolah lagi free"
"Senin free? Mukjizat" aku bertepuk tangan. Andine tertawa.
Aku sedikit sedikit memakan bubur ayam yang sama sekali tak enak dilihat itu. Tapi aku tidak enak kalau tidak makan itu, Andine sudah repot repot membelikan.
"Oh iya, kadonya makasih banyak ya. Bagus banget." kataku. Saat itu yang aku dikasih kado, ternyata itu adalah oleh oleh ibunya yang baru pulang dari German, aku dibelikan trench coat warna abu abu. Serius, aku sangat menyukainya. Dan ada sticky note yang bertuliskan. "Pakai ini kalau nanti di Amsterdan, dingin soalnya.". Darimana dia tau kalau Amsterdam adalah kota impianku?
"Oh iya, sama sama." jawabnya.
"Kamu kenapa suka Amsterdam?" tanya Andine."Bukan suka, mau menjajah." jawabku asal. Dia tertawa.
"Emangnya bisa?" tanya dia di sisa ketawanya.
"Insyaallah." kujawab seperti itu. Seolah asli aku mau menjajah."Assalamualaikum" seorang perempuan tengah berdiri di ambang pintu. Aku menatapnya datar. Dan kujawab salamnya dalam hati.
"Eh Adline? Sini masuk." ucap Andine. Aku masih terduduk lesu di ranjang UKS.
Adline berjalan mendekat, aku fokus dengan bubur yang membuat mual itu. Tapi daripada melihat wajah Adline, lebih baik aku melihat bubur.
"Eh yaudah deh, Adline kan piket. Aku masuk kelas yah, kamu jagain dulu." ucap Andine langsung pergi dari hadapan kami berdua, aku melihat wajah canggungnya. Pasti Andine jadi tidak enak karena ada Adline.
"Kata lo free class?"
"Emm... Iya tapi aku kan mau ketemu bu Jijah." elaknya.
"Mau ngapain?" tanyaku datar ke Adline saat Andine sudah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say you won't let go
RomansaCERITA HANYA FIKSI (Cerita ini diikutsertakan pada kompetisi Wattys2017) Jika hidup seperti pendengar radio, yang bisa me-request lagu mana yang akan diputar di siaran itu. Maka, aku akan me-request takdirku ke tuhan, agar selalu manis dan menyenang...