7. sebelum bendera kuning berkibar

122 6 0
                                    

Dua minggu sudah berlalu kenangan kami ke Jogja. Kini yang tersisa hanyalah lelah dan sakit hati. Gibran pun sudah pulih dan sudah bersekolah seperti biasa.

Saat itu sudah jam sepuluh malam. Entah mengapa rasanya aku sangat merindukan ayah. Dan akhirnya aku memutuskan untuk video call dengan beliau.

Saat sudah diterima, kulihat wajah lelahnya yang sepertinya sudah ingin tidur lelap. Tapi ayah saat itu masih tersenyum manis kepadaku, dan wajahnya penasaran apa yang aku ingin ceritakan saat itu.

Ayah : "Kenapa den?" tanya ayah dengan panggilan sayangnya untuk kedua anaknya itu 'Raden'. Sebenarnya aku malas sekali di panggil dengan panggilan itu, masa iya namaku Gibral jadi Aden? Dan juga ayah jadi terkesan ART atau sopir pribadiku.

"Ayah, cara bikin cewek suka sama kita gimana si?" tanyaku polos saat itu. Kulihat ayah tertawa geli.
"Ih ayah Gibral serius!"

"Memangnya jatuh cinta sama siapa?" tanya ayah disisa gelak tawanya.

"Ada deh ayah, cantik"

"Iyalah harus cantik."

"Jadi gimana ayah?"

"Ya sudah diperjuangkan aja. Masa kalah sama Raden yang satu lagi." jawabnya. Aku bingung setengah mati. Apa kata ayah? Aku kalah dengan Gibran?

"Maksud ayah?"

"Ayah barusan lihat di akun instagram Gibran. Dia di tag foto sama perempuan. Itu sih kayaknya di rumah makan gitu, ya tidak berdua doang sih."

"Ayah serius?!" tanyaku.

"Iya serius" kulihat ayah mengangguk.

"Oh yaudah deh ayah, aku tutup ya video call nya. Assalamualaikum"

Aku duduk termenung di kasur. Fikiranku melayang layang sambil menebak siapa perempuan yang sedang makan bersama Gibran. Ini adalah pertama dalam sejarah, Gibran mau makan diluar atau berkumpul dengan teman temannya.

Akhirnya aku memutuskan untuk ke kamarnya yang terletak di dekat ruang tamu lantai bawah. Kulihat dari jauh kamarnya sudah terkunci.

"Aden mau kemana?" tanya Bi Anah, ART kesayanganku yang sudah mengurusku selama aku hidup di dunia ini.

"Mau ke Gibran bi, ada urusan penting." jawabku.

"Den, tapi Den Gibral lagi istirahat. Baru pulang." jawab Bi Anah.

"Hah?! Dari mana bi?" tanyaku sedikit terkejut.

"Mau ngapain kamu?" suara ketus itu lagi lagi memekakkan telingaku. Aku menoleh ke arahnya, dan kudapati Bunda yang sedang berdiri dengan tangan dilipatkan di dada.

"Mau ngambil tas di kamarnya Gibran." jawabku singkat dan saat aku ingin mengetuk. Bunda bicara lagi.

"Gibran-nya sudah tidur. Jangan diganggu!" perintahnya. "Masuk kamar!" bunda menunjuk kamarku dengan jarinya. Aku menatapnya, penuh amarah saat itu. Aku selalu berfikir, mengapa aku yang mendapatkan ibu seperti dia? Mengapa tidak orang lain saja? Tapi seiring bertumbuh dewasa seperti sekarang ini. Aku tau, mengapa aku harus mempunyai ibu seperti bunda.

"Bunda berlebihan." gumamku sambil berjalan menuju kamar.

***

Saat disekolah, aku hanya memakai kaos dalam warna abu abu yang bertuliskan 'Purpose Tour' aku bukan beliebers, tapi aku suka baju itu yang kubeli beberapa bulan yang lalu. Aku memakai baju itu karena baju putihku kotor akibat dihukum push up karena terlambat. Aku baru bangun jam tujuh pagi, tepat sekolahku sudah berdering bel masuknya.

Say you won't let goTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang