Saat itu sudah jam sembilan malam. Aku akhirnya berhasil keluar dari kamar saat bunda mengantar Gibran kerumah sakit. Keluarnya aku dibantu bi Anah. Aku sangat beruntung memilikinya, perempuan lembut yang tau semua tentang hidupku. Bahkan jika bisa memilih, aku ingin menjadi anak kandungnya. Walaupun hanya asisten rumah tangga, tapi bi Anah adalah ibu yang sangat baik. Sangat amat baik.
Malam malam begitu, aku berjalan keluar komplek. Dan tak lupa pohon mangga di mini pot yang akan aku berikan ke Adline. Setelah sampai keluar komplek, aku naik taksi untuk sampai ke rumah Adline di dekat jalan yang kemarin aku disambit pakai batu sama anak anak ingusan itu.
Diperjalanan aku hanya bisa menatap kaca yang sudah banyak bulir bulir airnya, semakin lama semakin banyak dan deras. Saat itu aku sudah pesimis, karena rasanya ini tidak mungkin.
Setelah sampai di depan gerbang rumahnya, aku langsung mencari tempat untuk meneduh. Dan aku melihat kamarnya yang jendelannya masih terbuka. Karena aku meneduh di bawah pohon, alhasil sweater kesayanganku pun basah.
Aku menekan tombol bel rumahnya, dan tak lama kemudian muncul bapak berpakaian security dari dalam rumahnya. Ia memakai payung, sedangkan tubuhku kini basah kuyup.
"Ada apa mas?" tanya pak security itu.
"Pak saya mau ketemu Adline. Ada?" tanyaku.
"Oh silahkan masuk dulu mas" ucapnya. Aku mengikutinya, dan aku duduk di bangku pos security rumahnya. Sebenarnya ada yang aneh saat itu, lampu kamarnya sudah dimatikan dan gordennya pun sudah ditutup. Pedahal jelas barusan kulihat masih hidup disana.
Tak lama kemudian, pak security itu datang lagi.
"Maaf mas, katanya non Adline gak mau ketemu. Mau istirahat." ucapnya. Aku hanya menghela nafas.
"Yaudah pak, tolong titipin ini yah. Bilang ini dari Caspian." ucapku sambil tersenyum, bapak itupun sedikit tersenyum. Nama apa itu? Entahlah, disaat kecewa aku jadi teringat karakter Caspian di film Narnia. Dan itu pasti akan membuat Adline bingung.
Aku beranjak dari tempat duduk lalu aku pergi dari rumahnya Adline yang besar itu. Aku sudah berada diluar gerbang megah berwarna putih.
"Adline! Terimakasih atas semuanya!" teriakku mengarah ke kamarnya. Aku yakin dia pada saat itu belum tidur, dia mendengar perkataanku tadi. Dibawah dinginnya hujan deras yang mengguyur sekujur tubuhku, ada hati yang sakitnya sudah kulupa seperti apa. Yang jelas, efek dari kecewaku saat itu membuat diriku takut untuk jatuh cinta.
Malam itu aku menunggu ojek online di ruko yang tutup. Aku menggesek gesekan tanganku supaya ada sensasi hangat. Tapi ada yang lain, tiba tiba mataku mengeluarkan sebutir air yang hangat dipipi. Lalu air itu langsung menyatu dengan air hujan yang tadi membasahi wajahku. Aku terkekeh saat itu, apa? Seorang Gibran menangis?
"Ini air hujan ayah, bukan nangis." ucapku entah bicara dengan siapa. Tapi kalimat itu untuk ayahku.
Terakhir kali aku menangis adalah kelas satu SD karena saat itu nilaiku jelek dan aku dimarahi bunda sampai dijewer. Lebih lagi saat aku melihat Gibran dibelikan mainan kereta serta jalurnya. Aku tak dapat apa apa.
Saat sedang menangis kencang, ayah menghampiriku lalu mengusap air mataku dengan tangannya, senyumannya tepat di depan wajahku. Dan kata katanya pun aku masih ingat.
"Den, kalo anak cowok nangis itu artinya kalah. Gibral kan gak kalah, Gibral ngapain nangis?" kalimat lembut itu seperti tegangan listrik. Dan saat itu aku berjanji untuk tidak menangis lagi, aku tidak akan kalah lagi.
Tapi saat malam itu, air mataku keluar begitu saja. Itu wajar, karena kalian tidak tau bagaimana sakit yang kurasakan sendirian.
Tapi aku tidak kalah! Aku masih berpegang teguh pada kata kata dari Profesor Zed "Perjuangin sampe bendera kuning berkibar." itulah kalimat yang selalu aku ingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say you won't let go
RomanceCERITA HANYA FIKSI (Cerita ini diikutsertakan pada kompetisi Wattys2017) Jika hidup seperti pendengar radio, yang bisa me-request lagu mana yang akan diputar di siaran itu. Maka, aku akan me-request takdirku ke tuhan, agar selalu manis dan menyenang...