Tentang Ramiro

23 4 0
                                    

Hari ini sekolah masih liburan untuk kenaikan kelas. Mengingat rapotku yang ternyata bagus, orang tuaku mengijinkan aku untuk banyak bermain dan berjalan-jalan dengan teman. Aku belum bercerita pada mereka tentang aku dan Rio jadian. Aku takut mama hanya akan mengatakan kalau aku move on terlalu cepat.

"Pagi!" sapa Ramiro dengan suara lembutnya, kali ini tanpa embel embel 'princess'
"Pagi, Rio. Ready to go?" Balasku.
"Ready. Tapi hari ini aku cuma punya waktu jalan sebentar sama kamu. Ada kerja kelompok sama Lyv."

Lyv lagi ya

"So?"
"Apa?" Tanya nya.
"When are you gonna ask if i'm okay with this?"
"With what?"
"Nevermind." Aku mengelak, kesal.

Ramiro terdiam sejenak lalu menggandengku sambil tersenyum.

"Ayo princess! Sepertinya Botani Square sedang banyak discount hari ini. Care for a bookstore tour?"
"Yes!" Rasa kesalku seperti menghilang seketika.

"Anna?"
"Hm?"
"Ada yang mengganggu kamu."
"Apa itu pertanyaan atau pernyataan?"
"Pernyataan. Aku bisa lihat itu. Kenapa kamu? Ceritalah. Harusnya aku jadi tempat kamu bersandar saat kamu butuh."

Aku tersipu karena kata-katanya itu. Aku senang setidaknya Ramiro sudah tidak kesal denganku.

"Ngga kok." Balasku.
"Hanya banyak pikiran belakangan ini."

Ramiro terlihat pasrah dan hanya bisa menghembuskan nafasnya.
"Baiklah, aku harap kamu bisa menceritakan masalah kamu ini kepada seseorang yang lebih bisa kamu ajak bicara."

Ia terdengar sakit hati. Tapi mau gimana? Aku benar-benar takut untuk bercerita. Aku takut kejujuran dan ketulusanku ini akan dimanfaatkan lagi suatu hari nanti. Aku sesungguhnya ga mau Ramiro khawatir, tapi aku merasa ada yang janggal dari perempuan sebaik Emilie, yang nyatanya hidup di antara perempuan-perempuan lain yang membenciku.

Ah, ku beri tahu saja. Lagipula aku yakin Ramiro orang yang baik.

"Uhm, Ri?"
"Ya?"
"I guess i'm gonna tell."
"I'm all ears."
"Ada yang tidak beres dengan Emilie. Entah aku ini paranoid atau mungkin aku terlalu peka akan keadaan. Tidakkah kamu pikir itu hal yang aneh?"
"Apa yang aneh?"
"Kamu ga tau? Perempuan di sekolah banyak yang ga suka aku, lho. Aku ga yakin aja, kok bisa seseorang yang se populer Emilie bisa se friendly itu sama aku?"
"Mungkin dia memang baik banget."
"Kamu kenal banget sama dia, ya?"
"Kamu cemburu ya?"

Seketika aku rasakan wajahku merona.

"Aku rasa ini bukan cemburu, Ri."

Aku rasa ini takut

"Apapun itu, aku ga masalah. Cerita saja kalau kamu mau cerita. Aku akan siap dengar kamu. Kalau kamu mau aku jauhan sama dia juga ga apa-apa. Tapi ingat, aku dan dia sama-sama anggota OSIS dan itu gabisa aku ubah."

Aku merasa lebih tenang. Aku tersenyum dan Ramiro membalas dengan senyum juga sambil mengusap kepalaku.

Hari ini kami memutuskan untuk naik angkot, sekalian menghemat bensin. Lagipula mall yang kami tuju tidak terlalu jauh dari rumahku.

Lagi-lagi, toko buku. Ramiro bilang bahwa ia ingin membeli kado untuk mama nya. Katanya mama nya sangat suka membaca. Aku rasa aku akan sangat cocok bila berbicara dengan mamanya Ramiro.

Lorong satu khusus buku panduan masak, lorong dua khusus buku panduan menggambar dan editing, lorong tiga untuk buku-buku keagamaan, lorong empat untuk komik, lorong lima untuk-

Ah

"Nat??"
"Omagat hi!"

Astra. Sudah sepantasnya sih dia berkeliaran di toko buku di hari libur. Tapi dia sendirian?

Tentangnya dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang