Tentang Tuan Merewood

92 8 1
                                    

"The way i figure it, everyone gets a miracle." -Paper Towns-

Itulah quote yang ku ingat dari buku yang semalam telah ku baca habis setelah aku melihat namaku di papan nilai, tepatnya di urutan 15. Ini peningkatan. Biasanya aku ada di urutan 20 sampai 30.

Hari ini aku bangun jam 5 pagi. Lebih pagi dari yang biasanya. Biasanya aku bangun pada kisaran jam 6 sampai jam 7. Sekolahku mulai jam 8, jadi tidak perlu terlalu buru-buru.

Pagi ini aku terbangun karena mimpiku. Walaupun begitu, aku hanya mengingat sedikit tentang mimpiku. Aku ingat ada Astra di dalamnya, aku masih tidak menyadari kenapa.

Pagi ini di sekolah aku duduk di tempat yang juga bukan tempat biasanya. Sam memiliki geng baru dan menghasut mereka untuk memusuhiku. Atas dasar itu, Ulka, Stella, dan Ai pindah duduk mendekati tempat dudukku. Aku jadi terpaksa harus pindah. Lagi.

Aku kali ini duduk semeja dengan Damian Lukas, sepupu dari Oliver. Menurut penglihatanku, Damian sikapnya berkebalikan dengan Oliver. Dia sangat baik, dan dia lebih ingin fokus pada studinya.

"Pagi, uhm, Annatie?" Sapanya.
"Pagi Dame." Balasku.
"So sorry about your past relationships with my bro and Sam."
"Ngga apa-apa kok. Lo ga salah apa-apa."
"To make it up to you, gw kenalin sama temen gw ya?"
"Sorry Dame. Lagi belum tertarik untuk memulai lagi."
"Ayolah. Gw ga maksa. Cuma ngenalin. Mungkin dia bisa jadi temen deket baru lo."
"Kenapa ga lo aja yang kenalan?"
"Kan temen gw, Ann."
"Oh iya."

Aku terdiam sebentar.

"Okay up to you." Balasku setuju.
"Yes!" Damian terlihat begitu senang.

Pada jam istirahat, Damian memintaku ikut dengannya ke kelas 10IPS2. Damian kemudian memanggil seseorang dengan keras. Aku ini introvert. Aku tidak mengenal semua anak di sini dengan baik, jadi aku tidak mengenal siapa orang yang dipanggil oleh Dame.

"TUAN MEREWOOD!" Teriak Damian. Ingin sekali aku menamparnya karena teriakannya begitu kencang.

Pria yang bernama "Merewood" itu pun mendatangi kami. Pria itu tampan, walau tidak tidak setampan Astra, tapi kelihatannya baik.

Damian melanjutkan perkataannya pada "Tuan Merewood."

"Perkenalin diri lo. Nih udah gw bawain cewe yang lo puja-puja itu. Buruan. Gw tinggal ya." Kata Damian sambil tertawa.
"Woy eh-" pria ini tiba-tiba menghentikan panggilannya. Wajahnya terlihat malu.
"Hai. Gw Anatie Carmen. Lo?" Kataku memulai pembicaraan.
"Ramiro Merewood." Katanya sambil tersenyum manis.

Senyumnya benar-benar manis dan sangat mencerminkan ketulusan. Aku suka senyum yang seperti ini. Namanya juga bagus sekali.

"Uhm, Anatie? Lo blasteran?"
"Ngga, why?"
"Soalnya lo cantik ba- uhm struktur muka lo mirip orang Amrik gitu."
"Gw cuma kena sedikit cipratan darah Canada dari keluarga papa gw, dan sedikit cipratan darah Belanda dari keluarga mama gw. Tapi ortu gw dua-duanya orang indo kok, cuma keturunan aja. Kalo lo gimana? Nama lo kayak nama luar negri gitu?"
"Ngga hehe. Cuma nama aja yang gini. Gw orang jawa. Hehe gw kira gw bakal ketemu sama satu lagi anak blasteran."

Perlu aku ceritakan, sekolah kami adalah sekolah internasional yang kebanyakan kesehariannya menggunakan bahasa Inggris dan isinya mayoritas adalah anak-anak blasteran dan anak-anak native luar negri. Wajar saja Ramiro mengira bahwa aku ini anak blasteran.

30 menit jam istirahat kami lewati dengan mengobrol bersama. Banyak sekali kesamaanku dengan Ramiro. Dia memintaku memanggilnya Rio. Dia sangat menyukai membaca buku sama sepertiku, walau selera bacaan kami berbeda. Dia sangat menyukai seafood, aku juga. Terlebih lagi dia suka fotografi. Hobi itu sangat menarik bagiku. Dan karena aku tidak mahir dalam melakukannya, akan sangat hebat memiliki teman yang memiliki hobi tersebut.

Kami tidak memerlukan waktu yang lama untuk menjadi sangat dekat. Tapi tidak semudah itu bagiku untuk berteman dengan orang yang baru saja aku temui dan baru saja aku kenal. Aku harus benar-benar mengenalnya. Itulah mengapa yang dekat denganku dulu hanyalah Sam. Aku berharap Astra bisa menjadi sahabatku selanjutnya, dan mungkin Rio juga.

Rio memintaku untuk sesekali mengajaknya ke rumahku. Aku mengatakan padanya bahwa aku harus mengenalnya lebih dari sehari dulu, baru aku akan mengijinkannya mampir ke rumah.

Sepertinya aku menyukainya. Dia sangat ramah. Walaupun Dame dan Astra adalah orang yang ramah, Rio lebih ramah lagi. Dia juga perhatian, sama seperti Astra. Ah, aku harus berhenti membandingkannya dengan Astra. Lagipula hubunganku dengan Astra dan hubunganku dengan Rio nanti akan sangat berbeda.

Saat pulang sekolah, Rio datang ke kelasku dan menemuiku.

"Anatie?"
"Yes?"
"Gw mau nawarin tumpangan nih. Mau ga?"
"Uhm, maybe another time ya."
"Kenapa?"
"Ada yang jemput gw. Sekalian mau ke tempat les."
"Oh. Cowo?"
"Kalo iya kenapa, dan kalo ngga kenapa?"
"Kalau iya, berarti dia musuh gw. Kalau ngga, ya ngga apa-apa."

Aku lalu tertawa sedikit. Dia terlihat bingung.

"Emangnya lo suka sama gw, Ri?"
"Iya. Gw suka banget sama lo. Gw selalu muji-muji lo di depan Damian. Gw selalu minta dia kenalin lo sama gw. Jadi? Dia itu cowo, atau cewe?"

Pengakuannya manis sekali, tapi aku belum yakin padanya.

"Cowo, namanya Astra. Dia soon-to-be-bestfriend gw."
"Ya udah deh. Hati-hati di jalan. Pikirin gw ya. Jangan suka sama dia." Katanya sambil tertawa.
"Haha we'll see" aku balas tertawa.

Astra menemuiku di depan sekolahku. Terlihat banyak teman-teman perempuan yang sedang memperhatikannya. Aku segera berlari ke arahnya dan melompat untuk mengagetkannya. Hal yang ku lakukan ini memancing banyak sekali perempuan. Ada yang terlihat membicarakanku, ada juga yang terlihat senyum-senyum sendiri seolah aku dan Astra ini terlihat seperti couple goals.

"Konyol banget sih kelakuan lo. Ga nyadar apa lo tuh masih di sekolah? Tengil amat dah." Celetuknya.
"Eh, lo ga nyadar apa banyak banget cewe yang ngeliatin lo? Padahal ini bukan sekolah lo, bisa-bisanya lo mancing perhatian 3/4 cewe di sekolah gw? Yeee maruk amat!" Balasku agak kesal.
"Banyak omong lo. Ngapa sih? Cemburu ye?"
"Idih amat. Ngapain cemburu sama cewe lain?"
"Kan gw hensem." Katanya sambil memposisikan tangannya di bawah dagu dengan jari telunjuk dan jempol membentuk ceklis.
"Ew." Balasku sambil ber acting jijik.

Kami berdua kemudian tertawa bersama. Astra kemudian merangkulku dan membimbingku ke tempat ia memarkir mobilnya. Inilah mobil yang aku tumpangi waktu kita ke Gunung Gede. Sepanjang jalan ke tempat parkir, Astra menceritakan bahwa itu adalah mobil dari papanya sebelum papanya pergi. Astra juga bilang kalau dia ingin berbicara denganku di jalan tanpa ada gangguan polusi suara seperti saat kami mengendarai motor.

Di tengah jalan, kami terjebak macet. Ini karena hujan semalam yang menyebabkan air sedikit menggenang pada jalan raya. Air inilah yang menghambat perjalanan menggunakan kendaraan seperti kami.

Astra kemudian menanyakan hariku.

"Baik-baik aja. Hari ini sepupunya Oliver ngenalin gw sama sahabatnya."
"Oliver? Lo main lagi sama si brengsek itu?"
"Sepupunya baik kok. Beda banget sama Oliver nya."
"Oh, gimana sahabat dia? Baik?"
"Kabarnya baik sih kayaknya."
"Yee dasar bungkus gorengan. Gw nanya orangnya baik apa ngga malah lu kasih tau kabarnya."
"Apaan sih? Hahaha sorry gw kan ga ngerti kalo lo ga to the point. Orangnya baik kok, tenang aja. Katanya dia suka sama gw"
"Oh?"
"Iya. Kalo lo gimana? Hari ini lo sekolah kan?"
"Ngga. Gw sih mau keluar aja. Pengen homeschooling aja."
"Loh kenapa?"
"Mau bebas aja gitu. Gamau terlalu keteken hidup gw. Lagian juga kan-"

Astra berhenti. Aku memandangnya penasaran.

"Lanjut dong?"
"Nat."
"Ya?"
"Jangan pernah suka sama gw, okay?"
"Loh hah?"
"Ngga, maksud gw kita bakal banyak banget waktu sama-sama. Jangan suka sama gw ya."
"Haha iya. Lagian kayaknya gw udh punya calon. Cuma tinggal pdkt aja."
"Good for you, lovely Nat."
"Haha thanks, knight in shining armor."

Ya, lagipula ga harus Astra kan?

Tentangnya dan Para BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang