soohyuk

341 46 15
                                    

Wonho membuka matanya malas. Ia duduk untuk meregangkan tubuh, kemudian beranjak. Langkahnya berhenti tepat di depan meja dimana terdapat setumpuk berkas. Ia melirik salah satu salinan CV, lalu meraihnya.

"Bermain video game? Dasar bodoh." gumamnya. Baru sekarang ia menyesal sudah menuliskan hal konyol itu sebagai hobinya. Atau setidaknya ia tak benar-benar menulis 'makan ramen ekstra pedas' di sana.

Ia meletakkan kembali berkas tersebut lalu pergi ke kamar. Diraihnya jaket di gantungan balik pintu dan memakainya, lantas menyempatkan diri bercermin. Ia memandangi wajahnya dalam diam selama beberapa saat, kemudian menepuk-nepuk pipinya. Sebelum keluar ia juga menyempatkan diri mengecek e-mail melalui laptopnya. Tak ada e-mail masuk sejak tadi siang. Ia mematikan kembali laptopnya lalu pergi.

Jaket ia tudungkan, tangan ia benamkan dalam saku. Malam itu jalanan sepi. Rumah-rumah sudah terkunci rapat. Wonho menyusuri jalanan sepi dalam diam untuk menemui seseorang. Seorang klien. Mereka mengatur janji untuk bertemu di lokasi yang lumayan jauh dari rumahnya—ralat, rumah kontrakan. Setelah beberapa menit berjalan akhirnya ia tiba di lokasi perjanjian. Di sana sudah menunggu sebuah sedan hitam, lengkap dengan figur-figur bodyguard di sekitarnya. Wonho belum melihat wajah kliennya—tentu saja, tapi ia yakin pemilik mobil tersebutlah orangnya.

"Lee Jae Sik?" tanyanya begitu menghentikan langkah.

Salah seorang bodyguard—tanpa menjawab—membuka pintu mobil, mengisyaratkannya untuk masuk.

"Aku mau di sini." tolaknya halus.

Bodyguard tersebut malah membentaknya. "Masuk!"

Ekspresi Wonho mengeras. "Kau butuh bantuanku atau tidak?"

"Kau mau uang atau tidak?!"

"Toh kau menamparku dengan sekoper uang, kalau aku melalaikan pekerjaanku, bagaimana?"

"Kau!!" geram bodyguard tersebut hendak menghampirinya, namun pria di dalam mobil mencegahnya.

"Sudah, hentikan! Biar aku yang keluar."

Wonho menyeringai kecil. Bodyguard tadi masih menatapnya berang. Pria di dalam mobil tadi keluar, menghampiri Wonho—Lee Jae Sik, alias kliennya.

"Maaf, dia sedikit sensitif hari ini." Jae Sik menuding bodyguardnya dengan dagu.

"Lebih baik kau cepat. Aku sibuk." balas Wonho tanpa menunjukkan ekspresi berarti.

Jae Sik memantik sepuntung rokok, membuang asapnya, lalu menawarkan Wonho sepuntung rokok lain dari kotaknya.

"Rokok?"

Wonho meraih sepuntung, lalu memasukkannya ke saku.

"Tidak, terima kasih." ucapnya sembari tersenyum kecut.

"Kau kenal Kim Nam Gyu?" tanya Jae Sik sembari menyimpan kotak rokoknya.

Wonho menggeleng singkat. "Tidak."

Jae Sik menyodorkan selembar foto seorang pria yang sepertinya diambil menggunakan kamera tersembunyi. Wonho meraihnya, memandanginya sesaat.

"Besok Kamis dia akan pulang lebih awal ke rumahnya di Wonhyo." tutur Jae Sik, mengisap rokoknya, mengembuskannya.

"Wah. Kencan?" Wonho melirik.

"Akan ku transfer uangnya nanti malam."

"Sekarang sudah malam."

"Oh, benarkah?" Jae Sik menelengkan kepalanya.

Wonho mendongak, ikut menelengkan kepalanya sambil cengengesan.

"Sae Ryun! Kirimkan uangnya sekarang!" seru Jae Sik pada salah seorang bodyguardnya.

"Nah, gitu dong." Wonho menepuk pipi Jae Sik. Ia memasukkan foto pria bernama Kim Nam Gyu tadi ke sakunya.

"See ya in hell," ujarnya sambil melambaikan tangan, lantas berbalik.

"Lakukan dengan baik!" seru Jae Sik yang tiba-tiba menghentikan langkah Wonho.

Wonho membalikkan badan. "Kau meragukanku? Tapi uangmu sudah terlanjur masuk, Pak."

Jae Sik memicingkan mata.

"Kau sungguhan meragukanku?" Wonho menelengkan kepala.

"Tidak." jawab Jae Sik pelan.

Wonho menyeringai. "Oke."

Ia kembali berbalik dan pergi. Jae Sik tak lagi menghentikannya. Segera ia dengar mobil melaju. Wonho mempercepat langkah.

Sekembalinya ke rumah, ia mengunci pintu dan mencari ponselnya. Bisa bisanya ia tak membawa benda kecil sialan itu tadi. Bagaimana jika Jae Sik belum sungguhan mentransfer? Jemarinya menggeser dan menekan layar ponsel untuk membuka ATMnya. Rupanya sudah ditransfer. Ia meletakkan kembali ponselnya dan pergi ke kamar. Saat merogoh saku jaket, ia mengeluarkan foto Kim Nam Gyu. Dari wajahnya nampak jika pria ini pria baik-baik. Entah apa masalahnya dengan Lee Jae Sik, ia tak berhak tahu. Lagian ia juga tak ingin tahu. Ia meletakkan foto tersebut di meja, lalu melepas jaket dan menggantungnya.

Kim Nam Gyu ...

Sebenarnya ia bisa saja tak melakukannya. Ia bisa minta orang lain mengerjakan tugasnya. Tapi di sisi lain, jika ia tak melakukannya maka ia tak mendapat uang. Tetapi juga, meskipun ia sudah mendapat banyak uang, ia tak tahu hendak melakukan apa terhadapnya. Berhenti dari pekerjaannya selamanya pun ia tetap akan mendapat uang. Tak perlu repot ...

dan sayangnya itu hanya wacana. Wonho bukan tipe orang yang bisa tenang hidupnya jika duduk manis di rumah. Ia harus bergerak—minimal cari kerjaan. Paling parah, cari masalah. Dan ia sudah cukup cari masalah. Tapi anehnya, ia terus mencari masalah-masalah baru. Intinya, siapapun tak akan mau jadi dirinya.

Selain bahwa ia tampan dan seksi ...

Tidak. Itu hanya self-proclaimed saja kok.

Ia menghampiri mejanya, kembali memandangi foto Kim Nam Gyu untuk sesaat. Pikirannya berputar pada uang, Nam Gyu, dan Wonhyo. Haruskah ia sungguhan jauh-jauh ke Wonhyo disaat ia malas bergerak seperti ini? Berharap saja malasnya akan hilang besok Kamis.

Selamat malam.

Selamat malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

[TBU] Alter [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang