wonho

268 42 19
                                    

Rabu, pukul 8 a.m.

Sesuai janjinya, Wonho pergi ke toko Ny. Han pagi itu. Ia berdandan serapi mungkin, karena ini hari pertamanya bekerja di sana. Ia sesekali berlatih memasang senyum seramah mungkin selama di jalan. Sesampainya di sana ia langsung masuk. Kebetulan toko masih tutup dan sedang bersiap-siap untuk buka.

"Selamat pagi, Nyonya." sapa Wonho ketika bertautan mata dengan si pemilik toko.

Ny. Han menaikkan kacamatanya. "Kau bantu menata barang dulu. Nanti kau bisa menggantikan kasir setelahnya." tutur wanita itu.

Wonho mengangguk. "Oke, saya mengerti."

"Barang-barangnya ada di gudang. Seokmin akan mengantarmu." Ny. Han menunjuk salah satu karyawan yang dimaksud.

Mereka lantas pergi mengambil barang selagi Ny. Han membuka toko. Di gudang banyak sekali kardus-kardus dari berbagai produk. Seokmin menunjukkan kardus-kardus mana saja yang akan mereka bawa. Karena kardusnya tak terlalu berat, mereka membawa dua kardus sekaligus untuk ditata di rak. Wonho sangat menikmati kesibukannya saat itu, sampai ia sudah bisa berpindah pada bagian kasir. Sebenarnya Ny. Han memperkerjakannya di bagian kasir. Hanya saja tadi ia diminta membantu menata barang yang baru datang di rak karena petugas kasir yang lama adalah seorang wanita. Sesuai latihan singkat yang telah ia lakukan pagi tadi, ia memasang senyum ramah pada setiap pelanggan yang hendak membayar. Tak jarang mereka memuji ketampanannya. Kebanyakan adalah ibu-ibu yang biasa Wonho lihat suka bergosip di daerah sana. Sampai sekitar pukul dua siang, Wonho pulang.

Ia seperti biasa, menyempatkan diri mampir ke toko kecil di seberang rumahnya.

"Selamat siang, ahjumma!" sapanya penuh senyum girang.

Melihat tetangganya yang sedang senang, bibi pemilik toko memicingkan mata. "Kau kenapa?"

Wonho hanya tersenyum lebar memamerkan deretan gigi rapinya.

"Sudah mulai bekerja?" tebak bibi.

Wonho mengangguk. "Menyenangkan! Tapi ... ibu-ibu penggosip tadi memujiku tampan ... "

Bibi terbahak. "Aku yakin pasti nanti mereka menggosipkanmu!"

Wonho memberengut. "Ahjumma menertawakanku seakan tak pernah bilang bahwa aku tampan."

"Kapan aku pernah bilang begitu?"

"Pemuda tampan sepertimu rugi jika tidak kuliah." Wonho menirukan cara bicara bibi saat itu.

Bibi mendecih. "Alah,"

Wonho menyengir. "Lagian apa hubungannya kuliah dengan seorang pria tampan?"

"Tentu saja ada."

Wonho memutar mata.

"Eh, kau sudah makan?" bibi mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa? Mau menraktirku ramyun?"

"Masuklah. Akan kubuatkan ramyun."

Wonho tersenyum girang. Ia melangkah masuk, lalu melepas sepatunya dan mengikuti bibi ke dalam. Rumah bibi sangat sepi. Tentu saja karena ia tak memiliki suami dan anak. Setiap hari bibi menata dagangannya sendiri, membeli suplai dagangan sendiri, menjaga dagangannya sendiri. Itu sebabnya Wonho selalu menyempatkan diri mampir ke sana untuk sekedar mengajak wanita paruh baya itu mengobrol. Bayangkan tinggal sendiri selama sekian tahun, tanpa suami dan anak. Bibi pun tak keberatan setiap Wonho datang, bahkan ia membiarkan Wonho keluar masuk rumahnya sesukanya. Bibi menyayangi Wonho seperti anaknya sendiri, dan Wonho pun sama. Berhubung ia sangat merindukan ibunya dan tak tahu ada di mana ia sekarang. Masih hidupkah ibunya saja ia tak tahu. Yang pasti sekarang ia sudah punya tempat tinggal dan hidup enak. Jadi semua pikiran tentang masa lalunya harus ia lupakan ... karena itu akan membuatnya lemah.

Bibi hanya membuat satu ramyun untuk Wonho, sementara ia duduk memandangi pemuda yang sepertinya kelaparan itu.

"Semalam kau ke mana?" tanya bibi.

"Ke mana apanya?" Wonho melirik.

"Kulihat kau mengenakan jaketmu dan pergi ke arah yang sama seperti tempo hari."

"Jaket apa?"

"Abu-abu."

Wonho terdiam. Ia menelan ramyun yang ia kunyah lalu mengusap bibirnya. "Aku tidak punya jaket abu-abu."

Bibi memicingkan mata, begitupun Wonho yang nampak bingung.

"Kau yakin tidak punya?"

"Aku memang tidak punya ... bukan jaketku."

"Tapi semalam kau pergi, kan?"

"Tidak."

Mereka terdiam.

"Bibi yakin itu aku?" Wonho mengaduk ramyunnya.

"Aku yakin."

Wonho masih nampak bingung. Semalam? Memangnya ia ke mana? Ia tidur sejak pukul tujuh setelah bermain game. Atau, ketiduran. Ia segera menghabiskan sisa ramyun dan beranjak.

"Aku mau bersih-bersih. Terima kasih, ahjumma." ucapnya.




Percakapannya tadi masih terngiang. Memangnya semalam ia pergi ke mana dan untuk apa? Ia tidak ingat punya urusan yang mengharuskan ia pergi menemui sumber urusannya. Apa mungkin ... dia? Sepertinya ya. Apa perlu ia menanyakannya? Tapi bagaimana cara mengatakannya? Ia tak pandai menginvestigasi. Ia juga terlalu takut untuk berurusan dengan orang lain yang nampak berbahaya. Ah, sudahlah.

Setibanya di rumah Wonho segera bersiap-siap. Ia mengambil vacuum cleaner dan kemoceng, kemudian mulai membersihkan. Pertama adalah ruang tengah dan selain kamar. Ia menata berkas salinan CV nya di meja, dan segera teringat sesuatu. Ia meraih pulpen dan selembar kertas, lalu menuliskan sesuatu.

Apa itu kau? Apa yang kau lakukan? Aku tahu kau mendengarnya.

Kertas tersebut ia biarkan berada di sana bersama pulpen di sampingnya. Ia lanjut membersihkan tempat lain, lalu kamarnya. Setelah membersihkan kamarnya, ia berlanjut ke kamarnya. Di sana ada dua kamar tidur yang tak terlalu besar. Awalnya ia ragu, karena ia tak pernah mau masuk ke sana. Atau ... ia tak boleh masuk ke sana. Setelah perdebatan singkat dengan pikirannya, ia pun masuk. Kamar itu tak jauh berbeda dengan kamarnya. Hanya saja di sana lebih suram. Semua benda serba bernuansa gelap dan menyeramkan. Tapi tak lebih menyeramkan dari mengontrak rumah di lantai atas. Wonho benci ketinggian.

Saat sedang membersihkan tiba-tiba kepalanya pusing. Ia hampir jatuh jika saja tak berpegangan pada lemari. Pening itu hilang, dan ia lanjut membersihkan. Semua inci dari kamar itu ia bersihkan, juga mejanya. Foto Kim Nam Gyu ia kembalikan ke tempat semula setelah mejanya bersih. Ia mengulas seringai singkat.

Ia segera keluar dan menutup pintu. Masih sambil menggeret vacuum cleaner ia hampiri selembar kertas yang tadi ia tinggalkan. Ia raih kertas tersebut, diremas hingga membentuk gumpalan kecil, dan dibuang. Ia pergi mengembalikan alat kebersihannya.

 Ia pergi mengembalikan alat kebersihannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

[TBU] Alter [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang