Tok tok tok.
"Who is that?" Tanya suara Harry dari dalam kamarnya.
"It's me. Elle." Jawab Elle.
Tak lama, Harry pun langsung membukakan pintu kamarnya dan mempersilakan Elle masuk. Lalu ia duduk kembali di atas kasurnya dan memainkan laptopnya. Elle pun ikut duduk di tepi kasur Harry, dan memperhatikan Harry dalam diam.
Ia sangat sangat bersyukur pada Tuhan. Satu kebiasaan Harry yang wajar telah terlihat. Seperti biasa, Harry sering memainkan laptop di sore hari seperti ini di dalam kamarnya. Aku tahu, dia memang Harry kakakku, batin Elle.
Lalu tiba-tiba saja Elle teringat akan perkataan Niall soal "...tanyai dia apa yang terjadi selama dua minggu belakangan ini di saat ia menghilang..."
Maka Elle pun langsung membuka suara, "Uhm, Harry, aku ingin menanyakan sesuatu..." Katanya dengan ragu-ragu.
"Ya, Elle. Apa itu?" Sahut Harry.
Elle menelan ludahnya. "Aku penasaran... Apakah yang terjadi kepadamu selama dua minggu ke belakang di saat kau menghilang?" Elle menggigit bibir bawahnya, dan menunggu.
Lalu tiba-tiba Harry menoleh menatap Elle, dan menyimpan laptopnya di sampingnya. Lalu ia pindah posisi menjadi duduk di sebelah Elle. Ia mengangkat kaos putih yang sedang dikenakannya, dan memperlihatkan sebuah luka jahitan besar di perutnya yang Elle yakini adalah bekas luka tikaman yang didapatkannya dari Zayn.
"Aku lari ke rumah sakit terdekat. Lalu tinggal sementara disana sampai lukaku sembuh. Dan aku sengaja menyuruh pihak rumah sakit agar merahasiakan keberadaanku untuk sementara, karena aku tahu kalian semua sudah menganggapku mati. Untung aku masih memiliki uang dari hasil bermain permainan itu." Jelas Harry yang masih memperlihatkan bekas lukanya pada Elle.
Hati Elle berdesir. Ia merasakan rasa kasihan yang dalam pada Harry. Pasti sulit sekali untuk Harry yang sedang kesakitan itu berlari ke rumah sakit sendirian, sedangkan dirinya dan Niall sudah meninggalkannya sebelum memastikan dengan benar bahwa Harry sudah mati atau belum.
Lalu Elle pun bergidik ngeri mengingat kejadian sadis itu. "Apa itu sakit?"
"Sakit sekali. Tapi sekarang sudah tidak. Coba kau pegang saja," Tiba-tiba Harry meraih tangan kanan Elle dan menempelkannya tepat diatas luka jahitan di perutnya yang sixpack itu. "Yeah, sudah terasa lebih baik," katanya.
"Kau yakin ini sudah tidak sakit?" Tanya Elle ragu-ragu.
Harry hanya mengangguk, lalu entah mengapa ia malah menuntun tangan Elle untuk terus menyentuh dan meraba perutnya lebih lama. Ia memejamkan matanya, dan wajahnya menyiratkan seakan ia menikmati tiap sentuhan lembut Elle di tubuhnya itu.
"Harry?" Bisik Elle canggung. "What are y-"
"Bicaranya nanti saja." Tiba-tiba Harry menarik tubuh Elle agar ia berdiri, dan mendorongnya sampai ia menabrak tembok di belakangnya. Lalu Harry mendekatinya dan berdiri tepat dihadapannya sampai jarak antar wajah mereka hanya tinggal sekitar 5 centi. Harry menatap tubuh Elle dari atas sampai bawah, napasnya seakan memburu.
Jujur Elle merasa takut melihat Harry yang seperti ini. Ia mencoba mendorong tubuh Harry, namun Harry segera memegangi tangan Elle kuat-kuat. "H-harry! What are you doing?!"
"Don't say a word," ucap Harry. Lalu ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Elle. Semakin dekat, sehingga Elle hanya bisa menutup matanya. Terpaan napas Harry terasa jelas di wajahnya, dan....
PRAK.
Harry dan Elle langsung menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati lampu belajar Harry sudah terjatuh dan pecah di lantai. Mereka berdua merasa bingung mengapa bisa lampu itu tiba-tiba tertajuh dengan sendirinya.
Lalu Harry pun mendengus keras, dan meninju dinding tepat di sebelah kepala Elle dengan kesal, membuat Elle agak tersentak di tempatnya. Lalu Harry menjauhkan tubuhnya dari Elle, dan menatap adiknya dengan tatapan bersalah. "Maafkan aku, Elle. Aku... Aku... Aku benar-benar tidak bermaksud..." ia mengacak-acak rambutnya sendiri, dan mengusap wajahnya frustasi.
Elle tidak menjawab. Ia masih merasa takut pada Harry.
"Tolong lupakan kejadian ini, oke? Dan jangan katakan ini kepada siapa pun..." Harry mengelus puncak kepala Elle. Barulah Elle kembali melihat sosok Harry yang seperti biasanya. "Kau boleh keluar. Aku akan membereskan dulu itu," Harry menunjuk ke arah lampu belajarnya yang pecah.
Elle pun mengangguk pelan, dan segera berjalan meninggalkan Harry sendirian di dalam ruangan itu.
Setelah Elle keluar dan menutup pintu kembali, Harry pun langsung meninju dinding kamar itu lagi dengan keras, sampai terdapat warna-warna lebam ungu di tangannya.
"Kenapa aku begitu bodoh?!" Geramnya.