Mark
Pada malam harinya, aku keluar dari penginapan karena kebosanan dan tidak bisa tidur. Hari ini kami baru datang dan sudah ada yang mati.
Hans bilang kami perlu membaca naskah itu tapi aku tidak membacanya dari tadi. Ayolah, membaca naskah dari orang yang sudah mati? Itu jelas bukan hal yang cukup menyenangkan. Neng saja menolak mentah-mentah karena takut dikutuk atau semacamnya (terkadang aku ingin sekali memukul kepala mungilnya yang memikirkan hal sekonyol itu. Aku tahu dia ketakutan dan aku juga. Tapi berpikirlah secara rasional, Neng!)
Sepanjang aku berjalan, aku hanya menemukan beberapa orang yang masih berkeliaran di hotel. Jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Huh, ternyata ada juga yang mau bergadang.
Lebih baik aku pergi ke Kafe Laguna. Aku lapar.
Sesampainya di sana, aku langsung mendengar berbagai suara pelan di dalam. Sebagian orang merasa was-was dengan keadaan sekitar.
"Em, ada apa dengan mereka semua?" tanyaku ke pelayan.
"Kamu enggak tahu? Katanya Pak Vicen bunuh diri di rumahnya," jawabnya.
"Wah, masa sih?!" kataku pura-pura terkejut. Aku sendiri yang menemukan mayatnya terlebih dahulu sebelum diusir Inspektur Kampret. Sialnya, aku belum sempat mendapat petunjuk apa-apa tentangnya. "Memangnya Pak Vicen itu yang mana?"
"Oh, kamu turis ya? Wajar sih nggak kenal. Beliau itu dulunya paman kandung si penulis itu."
Tunggu. Apa?!
"Maksud Mbak Owen?"
"Nah, itu namanya! Yah, walau mereka berasal dari keluarga yang sama, hubungan mereka nggak bagus. Kudengar dari tetangga, mereka sering berkelahi entah apa."
"Hm, begitu. Tapi apa alasannya bunuh diri?"
Pelayan itu mengangkat bahu. "Siapa yang tahu? Polisi nggak mau mengatakan apa-apa. Banyak yang bingung juga soal itu."
Oh, hebat. Ternyata Inspektur Kampret lebih parah dari sekedar kampret.
Mataku menangkap satu lembar kertas pendek yang tadinya tidak ada di meja. Aneh, siapa yang menaruhnya di sini?
Pergi ke samping kafe. Jangan kabur.
Apa ini?
***
Sudah sepuluh menit aku menunggu, tapi aku belum mendapatkan seseorang--atau sesuatu--yang akan datang. Astaga, udara di sini dingin sekali, bahkan aku sudah memakai jaket kulit hitamku.
Sial. Apa aku dikerjai? Seharusnya aku tahu ini bakal terjadi.
Aku baru saja hendak pergi ketika tubuhku ditabrak seseorang. Aku menatap orang tersebut dan hebatnya dia juga membalas tatapanku dengan lebih sinis. Ada hal tidak menyenangkan saat aku melihatnya.
"Lo Mark Widya?"
Hah? Dia tahu namaku darimana? "Lo siapa?"
"Dengar, apa pun yang lo lakuin sama teman-teman lo, lebih baik lupakan saja dan pergi darisini."
HAH?
"Apa-apaan lo? Nyuruh orang pergi seenak jidat. Lo pikir lo siapa, hah? Anak konglomerat?"
Dia menatapku, jelas-jelas berusaha menahan amarahnya. "Dengar, kepala besar. Lo nggak tahu masalah apa yang menanti lo dan ketiga teman lo. Jadi minggat."
Enak saja. Berani-beraninya dia memanggilku kepala besar. Memangnya kepalaku sebesar buah semangka?!
"Masa? Tapi kepala besar gue masih punya nyali kuat daripada lo, bocah aneh."
Dia menghela napas pendek. "Sudah gue duga bakal begini. Yah, pokoknya gue udah peringatkan lo."
"Terserah, Aneh."
"Nama gue bukan aneh tapi Clay, ngerti?"
Clay? Seperti Clay Jenson dari 13 Reason Why? Tapi mukanya nggak kelihatan seperti orang Amerika, lebih mirip seperti orang Indonesia umumnya.
"Whatever, Dude. I don't care at all."
"Well, you should be," desisnya ketika melewatiku. Ada sensasi dingin menyelimuti seluruh tubuhku. "Karena bisa saja nyawamu dan temanmu melayang."
A/N: Sori pendek. Lagi susah nulis panjang :v

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Keheningan [3]
Mystery / ThrillerThe Grudge Series #3 Dalam rangka mencari tahu si dalang berinisial "Mind", Jane dan kawan-kawan mulai melakukan pencarian tentangnya. Yang tak diduga, ternyata orang itu melakukan sebuah pertaruhan apabila mereka mau mencari tahu tentang dirinya le...