Bab 1

1.8K 177 5
                                    

Mark

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini. Maksudku, kami akan mengadakan penyelidikan di luar Citra Pematra demi mencari sebuah petunjuk dari seseorang-yang-berbaik-hati-mau-memberi-bantuan-karena-dianya-kebosanan-setengah-mati-garis-miring-sudah-tidak-waras.

Apa ini nekat? Ya.

Apa ini beresiko? Tentu.

Tapi apa kami tahu? Sangat.

Saat ini, kami berempat sedang berada di dalam mobil van milik Hans--omong-omong, Hans juga yang mengemudi mobilnya. Di belakang, Sera sedang membaca buku berjudul Dead Man's Folly karya Agatha Christie sementara Neng sedang mendengar lagu dari earphone-nya, entah mendengar lagu yang mana--aku berani jamin kalau dia mendengar lagu-lagu K-Pop yang tidak kuingat sama sekali.

"Bung, masih lama nggak?" tanyaku bosan.

"Mark, kita baru berangkat sekitar 30 menit dan lo udah nanya apa kita udah sampe?"

"Bung, gue bosen."

"Kalo gitu main game di ponsel aja."

"Gue bosan."

"Denger lagu tuh."

"Gue bosan."

"Kenapa lo daritadi bilang lo bosen sih?"

"Karena gue lagi bosen."

"Bisa kalian berdua berhenti berbicara? Aku sedang membaca."

Kami tidak berbicara selama beberapa jam berlalu. Lagu-lagu di radio memainkan lagu-lagu yang sedang populer. Aku melihat banyak pepohonan sepanjang jalan. Cahaya mentari masuk menembus jendela-jendela mobil. Dari kejauhan, aku melihat adanya jembatan panjang membentangi dua bukit.

"Kita hampir sampai."

Tepat setelah Hans berkata demikian, aku melihat papan besar di samping gerbang desa bertuliskan DESA LEMBAYUN. Aku dapat melihat beberapa anak kecil yang bermain bola; ibu-ibu yang berjualan beraneka makanan atau baju; para petani yang membajak sawah. Hingga akhirnya mobil berhenti di lapangan parkir Hotel Bentara.

Sementara Hans dan Jane mengurusi kamar kami, aku dan Sera menunggu di lobi hotel. Sera masih sibuk membaca--apa dia tidak pernah lelah sedikitpun?--sementara aku menatap keadaan sekitar dengan wajah bete. Kebetulan sekolah sedang libur karena kelas 12 yang sedang sibuk menghadapi berbagai ujian. Waktu yang cukup bagi kami untuk melakukan penyelidikan dengan Owen Saputra.

Setelah kami mendapat kunci kamar masing-masing, kami pergi ke Kafe Laguna untuk makan siang sekaligus melakukan diskusi. Sambil menunggu pesanan makanan dan minuman, kami pun berbincang-bincang,

"Owen Ryan Saputra. Nama pena Owen Saputra. Umur 20 tahun saat meninggal, berkuliah di Universitas Cendana Pelita jurusan IT. Lahir tanggal 22 November. Saat berusia 2 tahun, kedua orangtuanya bercerai dan dia mendapat hak asuh dari ayahnya. Ketika berumur 14 tahun, dia meluncurkan novel berjudul Ramalan Kekejaman yang sukses keras karena isinya yang bagus serta plot twist yang menegangkan. Sebelum kematiannya, dia menulis tiga novel lainnya yakni Takdir Tak Terbatas, Keputusasaan, dan Jejak Keheningan yang masih belum selesai menjelang kematiannya," ucap Sera, membacakan isi artikel di ponsel. "Kurasa Mind ingin kita menyelesaikan novel berjudul Jejak Keheningan."

"Jejak Keheningan... rasanya gue pernah dengar judul itu disuatu tempat."

"Nggak heran. Novel itu kan sempat menjadi hot topic di dunia maya," sahut Neng. "Soalnya saat itu Owen mengumumkan kalo novel ini akan menjadi novel terakhirnya sebelum dia berhenti menulis. Katanya dia bakalan menyisihkan sesuatu yang benar-benar unbelieveble banget di dalam novel itu."

Jejak Keheningan [3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang