Bab 16

1.1K 120 5
                                    

Mark

Seminggu kemudian

Hening.

Aku, Neng, dan Hans duduk di ruang tamu di kediaman rumah Neng. Kami baru saja menghadiri prosesi pemakaman Sera. Sampai sekarang, aku masih kaget saat mengetahui apa yang terjadi pada Sera. Benar-benar sulit dipercaya. Satu momen aku melihatnya dan beberapa momen kemudian... dia tiada.

Neng masih menundukkan kepala sehingga susah sekali mengekspresikan wajahnya. Hans juga tidak beda jauh. Di sebelahnya, Tante Feli duduk dengan wajah murung.

Tidak ada percakapan apa-apa diantara kami semua. Sungguh hening.

"Mama tahu kan?" tanya Neng sambil menatapnya. Aku belum pernah melihat Jane terlihat sangat marah pada ibunya sendiri. "Mama tahu sesuatu yang terjadi setahun lalu kan? Nggak mungkin Mama nggak tahu."

"Neng..." aku memulai.

"Kenapa Mama nggak pernah bilang?" Jane terus bertanya tanpa ragu. "Kalau Mama ngasih tahu sebelumnya, semua ini nggak akan terjadi! Nggak akan ada korban yang berjatuhan! Nggak ada yang melakukan kejahatan di usia muda! Dan Sera... Sera NGGAK AKAN MATI!!!"

"Neng, sudahlah!" teriakku keras. "Jangan salahin nyokap lo sendiri! Mungkin ada alasan kenapa Tante Feli nggak kasih tahu sama lo! Pikirkan perasaan beliau sedikit!"

"Tidak, Mark. Tidak apa-apa."

Aku menoleh pada Tante Feli. "Tapi..."

Tante Feli memberi tanda diam dan menatap kami bertiga. "Kamu benar, Jane. Kalau Mama ngasih tahu semua ini dengan cepat, maka kamu dan temanmu nggak harus menerima konsekuensi seperti sekarang."

Neng tidak menjawab. Dia menatap Tante Feli dengan lirikan serius. "Jelaskan."

"Akan Mama lakukan. Tapi kita perlu menunggu seseorang--ah, dia datang."

Mataku menoleh ke pintu depan. Seorang wanita, seorang pria, dan seorang remaja masuk ke rumah Neng dan duduk di sofa yang tak jauh dari tempat kami duduk. Aku mengenal si remaja sebagai Clay yang ternyata adalah sepupu Hans dan si pria yang tak lain ialah Inspektur Cal sendiri. Namun aku tidak mengenal si wanita muda yang berambut dan bermata coklat hangat. Tapi matanya itu... rasanya aku pernah melihat bentuk matanya.

Seperti menangkap wajah keherananku, wanita tersebut berkata dengan aksen British kental. "Maaf terlambat. Namaku Erina Mardin, dulunya Erina Harley. Aku ibu kandung Reina Mardin yang kalian lebih mengenal dengan nama Sera Sarasvati."

APA?! DIA IBU KANDUNG SERA?!

Tapi wajahnya sangat muda! Bahkan wajahnya terlihat mirip dengan mahasiswa yang baru lulus kuliah daripada ibu-ibu yang sudah beristri.

Jane yang juga ikut terkejut langsung bertanya. "Tante... mama kandung Sera? Tapi..."

"Aku tidak terlihat mirip dengan putriku?" lanjutnya tenang. "Banyak yang tidak tahu. Penampilan tak menjawab segalanya. Jika bisa, jangan panggil aku Tante, oke? Panggil Erina saja sudah cukup."

Clay berdeham pelan. "Erina, kita harus menjelaskan..."

Erina menghela napas. "Aku tahu. Reina takkan mau menjelaskan situasi saat ini demi keamanan kalian berdua. Tapi tidak heran kenapa dia bisa begitu. Baginya, menyimpan identitasnya adalah prioritas utama."

"Bisa Ta--Erina jelaskan?"

Jemari-jemari tangan Erina saling bergerak. "Baiklah. Sebagai teman terdekatnya, kalian perlu tahu tentang siapa dia."

Aku dan Jane saling melirik. Lalu kami memgangguk pelan.

"Asal kalian tahu, aku dan suamiku Damian bukanlah sepasang suami-istri biasa. Aku adalah seorang detektif partikelir atau private investigator dari London sementara suamiku adalah seorang agen Interpol yang bekerja di kepolisian. Kami berdua banyak berurusan dengan penjahat-penjahat yang menginginkan kami berdua mati.

Jejak Keheningan [3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang